Archive for the Pikiran Malam Category

Kita dan orang – orang menakjubkan di sekeliling kita

Posted in Pikiran Malam on Oktober 19, 2008 by David Wahyu Hidayat

Detik berganti menjadi menit, menit menjadi jam, jam menjadi hari. Berulang-ulang terus menerus dalam kehidupan manusia yang seringkali tidak diketahui arah dan tujuannya. Kita seringkali mengalami turbulens dalam kehidupan, sebuah fase dalam kehidupan, yang akhirnya harus diyakini sebagai sesuatu yang membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik.

Dalam menjalani setiap fase tersebut, kita bertemu dengan begitu banyak tipe manusia yang membentuk kehidupan kita. Seringkali mereka menfrustasikan kita, seringkali mereka mengecewakan kita, dan membawa kita ke dalam sebuah keadaan di mana kita tidak dapat maju lagi dalam kehidupan. Bukan berarti kita terjatuh dan berada dalam sebuah lubang tanpa dasar, tapi kita berada dalam sebuah keadaan stagnan, di mana kita berhenti dalam semua aspek kehidupan kita. Resesi pribadi, seperti juga dunia yang berada dalam ancaman resesi ekonomi terbesar yang pernah dialami mahluk bernama manusia.

Entahlah, di saat di mana manusia tidak dapat maju lagi dalam hal yang ia lakukan, ia merasa selalu seperti berada dalam wahana roller coaster di mana adrenalin yang ia rasakan, hanyalah halusinasi sesaat untuk sedikit percaya bahwa segala sesuatunya baik – baik saja, dan dirinya dalam keadaan baik. Tapi yang dirasakan hanyalah kefrustasian akan sesuatu yang tidak dapat dibawa maju, kemana pun ia melangkah.

Kefrustasian akan batasan-batasan absurd yang tidak akan pernah membawanya ke manusia yang ia inginkan, akan makna persahabatan yang terlalu dalam sampai mereka yang melakoninya sendiri, tidak mengerti apa sebenarnya arti persahabatan, dan meyakini kalau berpisah di jalannya masing-masing adalah pilihan yang terbaik. Atau ketika pekerjaan yang dijalani hanyalah pertempuran politik tanpa batas yang mendemotifasi seorang pekerja paling berdedikasi sekalipun. Atau ketika menyadari bahwa ia begitu mencintai negara tempat kelahirannya, sampai ia menyadari dan menanyakan masih adakah figur yang akan meniginspirasikan bangsa ini dan menjadikannya bangsa yang besar seperti yang telah dilakukan nenek moyang kita beradab-abad yang lampau. Di saat-saat seperti ini, tidak ada lagi yang dapat dipecayai, semuanya hanyalah seperti usaha menjaring angin, dan yang membuat dirinya berasa lebih baik, hanyalah ketika ia mendengarkan musik yang ia cintai di kepalanya.

Akankah semua ini berakhir? Sebuah prinsip yang diyakini adalah selalu percaya apa yang ia lakukan adalah yang terbaik, dan meninggalkan semua yang ada di belakang. Selalu berusaha, karena cepat atau lambat semuanya itu akan membuahkan hasil. Tapi di mana kita sudah melakukan segalanya, kemudian menemukan jalan buntu di banyak hal, apakah yang dapat dilakukan lagi? Tidur dan bermimpi adalah hal ternyaman yang dapat dilakukan, tapi mimpi juga harus dikerjakan, karena bila tidak mimpi akan tetap menjadi bayangan indah yang kita punyai waktu kita tidur, dan menguap waktu kita terbangun menghadapi hari.

Sebenarnya, bila diperhatikan lagi dan lagi, kita selalu dikelilingi oleh orang-orang yang mengagumkan dan menakjubkan yang berada di sekitar kita. Memang manusia juga yang selalu membuat kita kecewa terhadap kehidupan, memang mereka juga yang selalu akan menfrustasikan kita. Tapi kita harus selalu ingat, tidak setiap manusia dapat kita menangkan untuk diri kita sendiri. Bila kita dikecewakan oleh manusia – manusia yang kita jumpai, bukan berarti mereka selalu akan mengecewakan. Kita juga harus ingat, ada manusia – manusia yang selalu siap menerima kita, mendukung kita, dan membuat kita tersenyum ketika kita tidak lagi menemukan jalannya. Bila manusia yang tadinya selalu berada di sisi kita menghilang, mungkin memang itu salah satu jalan untuk diri kita sendiri dalam proses mencari arti dari manusia itu sendiri, dan selanjutnya mengerti makna kehidupan ini.

Kita akan selalu berada di persimpangan jalan, entah arah mana pun yang kita pilih, kita hanya harus selalu percaya kalau keputusan kita dan arah yang kita pilih adalah segala sesuatunya yang akan membawa kita menuju tujuan kita. Karena bila kita pun terhilang sendiri, tidak akan dapat yang menolong diri sendiri. Ke mana pun kita berjalan, kita hanya harus tetap berjalan dan terus berjalan, dan lihat di sana telah menunggu orang-orang menakjubkan yang akan menyapa dan memeluk kita dalam kehidupan.

David Wahyu Hidayat

DIG OUT YOUR SOUL

Posted in Pikiran Malam on Oktober 7, 2008 by David Wahyu Hidayat

3 years ago I was still living at this other country enjoying the luxury of being accessible to all kind of music that I love. On one special morning in that year 2005 I made a walk to my local record store, and bought the new album of a band that defines my youth and my life. That day was 30 May 2005, the release day of “Don’t Believe The Truth”, the band is OASIS.

The release day of an album from a band that I love is always a celebration. Or better said, it was a celebration. There is a moment of undescribeable happiness, walking from your house going into that record store. Once you have the record in your hand, you rush back to your little room where you live, put the CD into your music player, and turn the music as loud as you can. Those moments were a ritual. A celebration of its own. Because you are celebrating the music in you. Because you are celebrating life.

Back in this beloved country, that joy is taken from you, because none of the record labels here even considered embracing those kind of celebration. I guess, they just don’t understand it. I managed 3 years, with that condition. I compromise myself, and really do well in it. Until today.

Today, 06 October 2008, I just realize this can’t happen any longer. I just so desperate to hear the new sound of the band that defines my life. So what I did was, nothing more, than I used to do everytime the band I love release an album. I go to the next record store, and buy the album. The record store was Oasis Official Website.

I would have not done it three years ago. Even until last month I was so tempted doing it, when the new Bloc Party album was released. But I didn’t do it then. On the other side, I’m just so tired of the fact, that the corporate world and all other things steal that little celebration in me. So, I went and bought “Dig Out Your Soul”, in a clean and legal way.

Yeah, MODERN LIFE IS RUBBISH. I know. But it’s better to have your soul back, then to wait in uncertainty to celebrate life. I did not regret it at all. You know why? Because the music I hear now, is the most glorious piece of music I hear this year. Definitely without any doubt! Yeah, let’s celebrate life. Let’s dig out our soul!

David Wahyu Hidayat

Hari Terakhir di Bulan September

Posted in Pikiran Malam on September 30, 2008 by David Wahyu Hidayat

Bagi beberapa orang hari ini adalah hari biasa yang tidak berarti, penggalan lain dari waktu yang terlalu cepat berlari di hadapan kita, tidak usah terpikirkan untuk ditahan. Ia akan menghilang sebelum kita sempat menahannya. Untuk umat muslim di planet ini, hari ini, hari terakhir di bulan September adalah hari yang sangat berarti, karena hari ini adalah hari terakhir mereka menjalankan ibadah puasa, sebelum masuk merayakan hari raya Idul Fitri.

Untuk mereka yang tinggal di ibukota ini, hari-hari ini adalah rentangan waktu yang paling menyenangkan, karena untuk seminggu lamanya, atau dengan sedikit keberuntungan mungkin dua minggu, jalanan Jakarta menjadi lenggang, tanpa desakan kendaraan bermotor yang biasanya tiap hari berkelahi memperebutkan tempat paling menguntungkan untuk mencapai tujuannya masing-masing. Untuk beberapa orang waktu ini adalah untuk memaafkan, dari segala kesalahan yang entah disengaja maupun tidak. Waktu untuk berkonsiliasi terhadap sesuatu yang mungkin saja sudah tidak dapat diselamatkan lagi, dan setelahnya tanpa mempedulikan yang telah berlalu, segalanya akan berubah.

Hari terakhir di bulan September ini, bagi diri ini hanya merupakan sebuah rutinitas lain terhadap sumbangan jerih payahnya terhadap denyut perekonomian negara ini. Mungkin hanya segelintiran saja yang tetap bekerja di hari-hari seperti ini, walaupun tanpa disadari sendiri, mungkin jumlahnya lebih banyak dari yang diperkirakan. Salut kepada mereka yang akan merayakan ibadahnya tapi masih tetap bekerja dengan penuh dedikasi sampai jauh melewati jam kerja normal.

Untungnya, di tempat diri ini bekerja, semuanya berlangsung lancar tanpa kejutan berarti. Pekerjaan terakhir selesai menjelang jam buka puasa, dan diri ini menjadi salah satu dari orang terakhir yang meninggalkan tempat mencari nafkah tersebut. Kepala sudah siap untuk istirahat dua hari libur nasional sebelum kembali lagi ke rutinitas. Rasanya semua orang memerlukan hal itu, bahkan pekerja yang paling berdedikasi sekalipun.

Dari gedung perkantoran yang terletak di perbatasan Jakarta Pusat dan Utara, diri ini meluncur menuju rumah yang terletak di sebelah selatan Jakarta. Perjalanan menembus ibukota ini pun dimulai. Entah kenapa, diri ini mengambil inisiatif untuk merubah rute perjalanan pulangnya. Ia melewati lapangan Banteng, melintasi Katedral dan mesjid Istiqlal, gedung sekretariat negara, dan Istana Merdeka yang terlihat bisu menerawang ke arah Monas, terus menuju Thamrin dan Sudirman.

Sore itu, Jakarta menampilkan wajahnya yang lain. Aneh rasanya, melihat Jakarta seperti itu. Aneh sekaligus nyaman menyenangkan. Karena meskipun ada kendaraan lain berlalu – lalang, suasana terkesan terlalu sunyi untuk ukuran kampung terbesar di negara tercinta ini. Tidak ada kebisingan yang biasanya selalu senantiasa menyertai kuping kita. Momen seperti ini, yang selalu membuat diri ini mencintai Jakarta, sebagaimanapun berantakannya kota ini. Karena sebenarnya di saat-saat tertentu seperti hari ini, Jakarta dapat berubah menjadi sesuatu yang menenangkan.

Di bulan ini pula, diri ini menembus digit puluhan ketiga dalam kehidupan seorang manusia. Sebelumnya jauh ketika masih berumur belasan bahkan 20-an, membayangkan diri berumur 30 adalah sesuatu bayangan yang menakutkan, di mana masa muda telah hilang untuk selamanya tertelan waktu. Tapi ketika akhirnya mencapai waktu tersebut, yang ada hanyalah perasaan bersyukur telah mengalami banyak hal berharga dalam kehidupan. Memang kemudaan itu tidak akan pernah kembali lagi, tetapi paling tidak jiwa ini masih tetap jiwa yang sama, yang terperangkap di dalam keoptimisan tahun 90-an.

Satu hari lagi dalam kehidupan telah berlalu. Besok kesulitan yang baru dimulai, atau dari sisi lain mungkin kebahagiaan yang baru dimulai. Kita tidak pernah tahu, sebenarnya kita akan selalu tersesat di antara waktu yang menentukan kehidupan ini. Tapi keindahan dari semuanya itu adalah, ketika kita tersesat, kita sendiri yang akan menentukan arah dan tujuan langkah kehidupan kita.

David Wahyu Hidayat

Akhir 20-an, Awal 30-an, dan Penskena

Posted in Pikiran Malam on Agustus 24, 2008 by David Wahyu Hidayat

Peralihan tahun 2002-2003. Hidup sedang dalam keadaan terbaiknya. Masalah terberat yang dimiliki waktu itu hanyalah bagaimana caranya memaksa diri untuk bangun tidur dan berangkat kuliah setelah malam-malam penuh cairan bernama alkohol yang membuat kepala terasa digedor oleh palu Thor berulang – ulang. Keberadaan diri di tempat yang bukan tanah air, jauh di tengah –tengah Eropa sana, mulai terasa menyenangkan. Pikiranmu lepas berpikir, tindakanmu merdeka untuk berbuat dengan kontrol, bukan tanpa. Jiwa terasa bebas, dan salah satu hal terbaiknya adalah, secara musikalis, mereka yang diproklamirkan sebagai pahlawan – pahlawan pribadi dapat dialami tepat di depan mata sendiri, dan didengar telinga tanpa perantara apapun. Mereka yang telah mendefinisikan masa-masa tertentu di potongan waktu kehidupan. Ya mereka, Gallagher bersaudara, Greenwood bersaudara dan Yorkie, Converse butut Nick Valensi, androgini seorang Brett Andersson, sampai pahlawan di masa-masa awal diri menemukan musik dalam bentuk sebenarnya: Bono, Ed Ved, dan Michael Stipe yang tidak mungkin ada duanya di dunia pop ini.

Merekalah yang memberikan arti dalam kehidupan. Musik mereka berbicara, memotivasi, dan menunjukkan jalan. Musik mereka memberikan harapan. Sepotong kalimat “We gotta make it happen” dalam Cigarretes & Alcohol yang dinyanyikan Liam, memberikan semangat untuk percaya pada diri sendiri dan berbuat sesuatu. Nyanyian itu lebih berarti daripada ratusan buku “Self Improvement”, dan mungkin itu sebabnya, diri ini tidak pernah percaya kepada buku-buku semacam itu. Karena mereka tidak memberikan arti, mereka tidak pernah memberikan definisi dalam kehidupan. Semua musik itu menjelaskan semua yang akan kita hadapi.

Di peralihan tahun tersebut, seseorang memberikan sebuah buku yang sangat menyenangkan untuk dibaca. “Lost In Music” yang ditulis oleh seorang penggila pop bernama Giles Smith. Di awal buku itu ia menanyakan suatu pertanyaan “Jika seseorang telah melewati masa 20-annya dan memasuki era kepala tiga, haruskah ia merelakan semua kecintaannya pada dunia pop, dan mulai mendengarkan musik klasik, jazz dan segala macam lainnya yang terdengar lebih sesuai bagi seorang yang telah berada dalam posisi tersebut?”. Yang ia lakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah, ia memilih untuk mencintai musik yang selalu ia cintai, karena ia telah terlanjur tersesat di dalamnya. Meninggalkan hal tersebut bukanlah pilihan, karena mereka (musik) telah menjadikan hidupnya seperti yang ia dapati sekarang ini.

Berada di ambang akhir 20-an, tidak pernah disadari adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Satu-satunya bagian yang tidak menyenangkan adalah ketika melihat sekitar, orang – orang yang tadinya sempat dikenal dan berada dalam kelompok umur yang sama mulai tergerogoti oleh polusi korporasi, manisnya kehidupan bernama keluarga dan hal-hal lainnya yang merubah kehidupan. Sepertinya hidup itu tidak bisa dilawan. Sepertinya sekeras apapun kita berusaha, untuk tidak berubah dan selalu berada dalam zona satu-satunya yang dipikirkan adalah betapa indahnya solo gitar seorang Russel Lissack di “She’s Hearing Voices”, kita akan kalah dengan kehidupan itu sendiri. Cepat atau lambat, pikiran lain mulai menggerogoti imajinasi kita. Tabungan di bank, cicilan kendaraan, tempat tinggal mana yang cocok untuk berkeluarga, aspek akademis putra-putri kita dan seterusnya dan selanjutnya.

Hanya berimajinasi dan berpikir seperti itu, membuat diri tersentak kalau musik yang berada di dalam kepala dan telinga terancam untuk tergerogoti sedikit demi sedikit. Itu adalah salah satu bayangan masa depan yang suram. Tidak. Jawabannya adalah tidak. Memang semua kecemasan baru akan datang, dan apa yang akan dihadapi akan lebih berat daripada memikirkan antioksidan apa yang dibutuhkan untuk memerangi serangan alkohol yang membuat pikiran tidak mampu berpikir, tapi itu semua bukan alasan untuk menyerah ke dalam kehidupan korporasi dan kedewasaan yang dipatoki oleh masyarakat.

Sepertinya diri ini, untuk beberapa alasan terjebak di tahun 90-an. Dan dekade itu masih berfungsi sebagai sumbu putar kehidupan ini. Dan sekeras apapun kehidupan akan mengerogoti optimisme tahun 90-an, diri ini tidak akan menyerah. Untuk membiarkan semuanya terlepas dan menghianati mereka yang telah memberikan arti begitu banyak dalam kehidupan ini, hal itu tidak akan pernah terjadi. Sampai kapanpun, musik klasik tidak akan pernah menjadi penyemangat bangun tidur, waktu bekerja, sampai momen-momen percintaan. Karena diri ini bukanlah seorang penskena, yang mencintai sesuatu atau tepatnya berkesan untuk mencintai sesuatu hanya agar dapat digunakan sebagai bahan obrolan.

Mereka yang melakukan hal-hal seperti itu, seperti orang yang tidak punya pendirian, dan tidak punya rasa loyalitas terhadap apapun yang pernah memberikan arti kehidupan. Mungkin itu rasanya fans Chelsea yang sudah mencintai klab tersebut sejak Zola masih merumput di sana, terhadap fans – fans baru kubu Stamford Bridge tersebut, yang baru menyukai tim itu setelah miliaran uang Abramovitsch mengalir ke sana.

Arti keloyalan bukanlah hanya terhadap komitmen percintaan atau apapun yang memenuhi idealisme manusia. Loyal, berarti juga setia terhadap mereka yang telah memberikan impresi sebegitu dalamnya kepada kehidupan. Ketika memutuskan untuk mencintai Liverpool FC, klab sisi merah dari Mersey tersebut hanya menjuarai liga Inggris sekali sampai sekarang, tapi akankah itu mengubah loyalitas diri ini? Tidak, karena ketika waktu itu melihat seorang John Barnes meliuk-liuk di Wembley dan seorang Ian Rush menaklukkan kiper sisi biru dari Mersey di Wembley tahun 1989, mereka memberikan inspirasi terhadap seorang anak kecil. Dan inspirasi itu tetap diberikan sampai sekarang, tidak ada yang berubah.

Beberapa hari yang lalu, seorang teman pernah bertanya “Kenapa sepertinya lo, kalo udah suka terhadap suatu band, ga pernah bergeming, walaupun album-album sesudahnya jelek setengah mati?”. Jawabannya adalah, karena diri ini tidak bisa menghianati mereka yang telah membuat sesuatu yang mengagumkan terhadap kehidupan, dan lagipula bagi diri ini, mereka tidak akan pernah menelurkan musik yang buruk, karena bagian yang telah dilakukan musik tersebut. Katakan itu subyektifitas, tapi bukankah itu semua inti semuanya ini? Kita mencintai sesuatu, karena mereka telah membuat sesuatu yang berarti dalam kehidupan masing-masing kita, dan untuk itu kita akan selalu berhutang kepada mereka.

Itu masalahnya kepada semua penskena, yang mencoba mencintai sesuatu karena media mengatakan mereka untuk mencintai sesuatu. Itu sebabnya ketika seseorang berumur 30-an, mereka beralih ke Jazz, musik Klasik dan hal lainnya, karena menurut panduan tak resmi seseorang di umur 30-an, sudah tidak pantas lagi mendengarkan musik dari sebuah band yang masih luntang-lantung dengan rambut Beatles dan sepatu Adidas. Maaf, tapi diri ini tidak bisa melakukan itu.

Harapan yang terbersit adalah, merasakan ekstase kepada album baru Gallagher bersauadara, tersenyum penuh kekaguman terhadap teriakan Kele Okereke yang dibalut sample-sample elektronik ketika album baru Bloc Party dirilis, dan setelahnya, dengan penuh semangat melakukan pembicaraan tanpa akhir mengenai keindahan musik itu. Untuk melakukan itu; berapa banyak digit umur diri ini, banyaknya pekerjaan yang memenuhi jadwal, senyuman putri-putra ketika merayakan ulang tahunnya yang kelima, kebahagiaan istri yang ingin merayakan ulang tahun perkawinan; tidak akan merubahnya. Karena diri ini bukanlah penskena. Karena kehidupan ini dibentuk dari suara-suara supersonik itu, dan itu harus dihidupi dan dibagikan. Selamat tinggal 20-an, selamat datang 30-an. Sesuatu yang mengagumkan akan segera terjadi!

David Wahyu Hidayat

Merayakan Kehidupan atau Kematian dan Semua Temannya

Posted in Pikiran Malam on Juli 5, 2008 by David Wahyu Hidayat

Minggu ini setahun yang lalu, Roger Federer memenangkan Wimbledon untuk keenam kalinya. Saat pertandingan itu berlangsung, g berada dalam perjalanan dari Cengkareng menuju Citos, bersama dengan saudara tertua g yang baru saja melakukan perjalanan dalam rangka mempromosikan film pertama yang diproduserinya. Itu salah satu momen yang diingat di awal Juli 2007. Tengah malam di Citos, makan di sebuah restoran cepat saji yang hampir sudah tidak dapat menyediakan apa-apa lagi untuk pengunjungnya. Pikiran g saat itu sepertinya kosong. Tidak mengkhawatirkan sesuatu dalam kehidupan, terasa terlalu berlebihan untuk mendeskripsikan keadaan diri g setahun yang lalu. G punya pekerjaan yang tidak dapat dicela sedikit pun, dan g dalam posisi yang menikmati pekerjaan tersebut. G punya persahabatan yang baru saja terjalin, dan kepala g masih selalu dihiasi dengan musik-musik yang membuat hidup g lebih berarti.

Setahun setelahnya, semuanya belum berubah, dalam arti, g masih merasa g mungkin salah satu orang yang paling beruntung di kota ini, dan untuk itu, g rasa g harus mengucap syukur. Hanya saja ada sedikit perubahan, pekerjaan g berubah, g punya lebih banyak tanggung jawab, dan harus memperhatikan lebih banyak area di banding pekerjaan sebelumnya. Kepala g masih dipenuhi dentingan musik yang mengagumkan, dan g sekarang punya sekelompok orang untuk memenuhi hasrat bermusik g. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, dalam bahasa Coldplay semuanya Viva La Vida!

Ketika mendengarkan album tersebut di jalanan Singapura untuk pertama kalinya, semuanya yang berada di sekitar universum g, seperti menemukan artinya, terjalin sebagai sesuatu yang mengagumkan. Dan herannya, g masih seringkali tidak mengerti mengapa g bisa dalam posisi g sekarang ini, dan mengeluh tentang hal-hal kecil dalam kehidupan yang sebenarnya tidak harus dikhawatirkan. Sepertinya ketika kita bekerja cukup keras untuk mencapai tujuan yang kita kehendaki, semua yang akan datang setelahnya akan terjadi dengan sendirinya.

Akhir – akhir ini g sering berpikir, apa yang mendefinisikan arti kebesaran seseorang? Apakah seseorang perlu menorehkan namanya dalam sejarah, seperti gol tunggal seorang Fernando Torres yang membawa Spanyol meraih gelar yang mereka impikan sejak tahun 1964? Mungkin jawabannya adalah tidak. Dalam diri kita masing-masing, tidak peduli posisi kita di mana, kita mempunyai kebesarannya masing – masing. Yang membedakannya adalah, kita harus dapat menunjukkannya ketika waktu memerlukannya. Itu adalah definisi kebesaran seseorang, entah itu sewaktu kita diwawancara untuk suatu pekerjaan baru, menjalani ujian akhir nasional, mempresentasikan laporan projek kita kepada atasan dan pemegang saham, atau ketika kita percaya dengan sepenuh hati, kalau lagu yang kita mainkan di atas panggung adalah lagu yang terbaik yang pernah ada, karena itu adalah ekspresi jiwa kita yang memerdekakan hasrat. Di momen-momen seperti itu terletak kebesaran seorang manusia, dan masing-masing dari kita punya kesempatan untuk melakukannya.

Hidup tak lain adalah sebuah perayaan. Sebuah keyakinan akan sesuatu yang indah selalu akan terjadi di masa yang akan datang, sebuah pelepasan dari kebuntuan yang mengelilingi kita. Hidup bukanlah aksi anarkis, sesusah apapun kehidupan itu. Tidak ada sebuah kebesaran dari menjungkarbalikkan mobil instansi pemerintah dan membakarnya di jalan protokol ibukota. Tidak ada sedikit pun intelegensia yang menyertai aksi tersebut. Bila kita ingin melawan saat yang sulit ini, yang kita lakukan bukanlah aksi simbolis seperti itu. Perjuangan kita dimulai dari tempat lain, ketika kita melihat sesama kita dan membantu mereka. Ketika kita tidak hanya mencela oposisi tetapi juga berbuat sesuatu untuk memperbaikinya. Juga ketika kita menghargai satu sama lain dalam perbedaan, dan memberikan ruang gerak dalam sebuah masyarakat yang sekular. Bila kita mau, setiap hari adalah perayaan kehidupan kita. Bila kita memilih untuk membutakan akal pikiran kita, maka kita sudah terjatuh dalam jurang kematian beserta semua temannya.

David Wahyu Hidayat

* Judul tulisan ini diambil dari titel Album Coldplay terbaru “Viva La Vida or Death and All His Friends”

Track musim panas 2008, dalam urutan yang tidak beraturan:

  • Viva La Vida – Coldplay
  • Young Love – Mystery Jets
  • Falling Down (Chemical Brothers Remix) – Oasis
  • Fast Fuse – Kasabian
  • Can’t Go Back – Primal Scream
  • Mercury – Bloc Party
  • Echoes Round The Sun – Paul Weller
  • I Gotta Fire – Spiritualized
  • Sex On Fire – Kings Of Leon
  • A Punk – Vampire Weekend
  • Cassius – Foals
  • Vapour Trail (Ride’s Cover) – Sweaters
  • Bermuda – OK Karaoke
  • Weather To Fly – Elbow
  • Abyss / See You Soon – Rendyasradahnial

Ekspektasi = Ekspek Ekstasi

Posted in Pikiran Malam on Juni 10, 2008 by David Wahyu Hidayat

Setiap hari manusia terpicu untuk melakukan yang terbaik. Dari detik pertama ketika mata kita terbuka, kita diburu untuk mengejar kehidupan yang seakan hendak berlari dari raga yang kita tinggali. Di kala semuanya itu tidak lagi terkejar, kita jatuh dalam lembah kekecewaan, yang kadarnya berbeda untuk setiap orang. Tapi baru – baru ini, penulis tersadar akan sesuatu yang sesungguhnya membuat kita kecewa terhadap satu dan lain hal, maupun dengan kehidupan itu sendiri. Hal yang baru saja disadarinya itu bernama “Ekspektasi”. Karena hidup ini, di segala bidang yang kita jalani, pekerjaan, keluarga, pertemanan, percintaan, sampai kehidupan berbangsa adalah kehidupan mengelola ekspektasi, yang ketika semuanya tidak tercapai akan membuat diri kita kecewa. Terhadap orang lain, terhadap rekan kerja, orang yang kita cintai, kepada pemerintah dan yang terakhir, kita kecewa akan diri kita sendiri.

Lalu salahkah kita bila mempunyai ekspektasi? Tidak. Karena ekspektasi menimbulkan harapan, dan ekspektasi membuat mata kita bersinar menghadapi sebuah hari yang baru. Yang salah adalah, kita berekspektasi, tanpa memikirkan resiko dan konsekuensi dari hal itu sendiri. Karena menurut kamus pribadi penulis, ekspektasi dapat diterjemahkan dengan “ekspek eskstasi”. Di saat semua yang kita inginkan terpenuhi, kita menjadi ekstase sesaat. Hormon kebahagiaan memenuhi otak kita dengan sekejap.

Dalam kehidupan profesional, kita akan senang bila hasil kerja kita dianggap baik oleh atasan maupun pembeli jasa kita. Dalam percintaan, kita akan berbunga-bunga bila mereka yang dikasihi, membalas cinta kita seperti yang diharapkan. Dalam pertemanan, kita akan merasa selalu nyaman, bila mempunyai orang yang selalu dapat kita andalkan dalam semua situasi.

Bila tiba-tiba, ekstase itu tidak dapat lagi kita kelola dan berikan, pihak lain yang berinteraksi dengan kita akan merasa kecewa, karena mereka tidak lagi mendapatkan sesuatu yang mereka biasa dapatkan, atau mereka pikir, akan mereka selalu dapatkan tanpa syarat. Kita terlalu gila dengan ekstase sesaat itu, padahal mungkin bila hal itu tidak ada, hidup kita akan normal saja, tanpa kerikuhan dan keresahan yang didapat ketika ekspektasi itu tidak terpenuhi. Di sisi lain, bila ekspektase itu selalu terpenuhi, kita dengan rakus, ingin cepat naik ke level berikutnya, meningkatkan taraf ekstase yang bisa diterima hormon kebahagiaan kita. Seringkali dalam melakukannya, seperti yang telah disebutkan di atas, kita tidak sanggup mengelola resiko dan konsukuensinya. Dan kita pun terjerembab, menunduk pilu menyesali sesuatu yang kita pikir telah terjadi dengan salah.

Kita tidak perlu berada dalam keadaan seperti itu. Yang harus kita lakukan hanyalah mengelola ekspektasi itu dengan baik, dan mengerti apa yang akan mengikutinya baik dari sisi positif maupun negatif. Sekali lagi, ekspektasi itu bukanlah sesuatu yang salah. Bila kita dapat mengaturnya, itu adalah kunci yang akan membuka mata kita bersinar menerawang silaunya mentari pagi.

David Wahyu Hidayat

Kebangkitan Nasional, Reformasi dan Arti Kebebasan

Posted in Pikiran Malam on Mei 20, 2008 by David Wahyu Hidayat

100 tahun kebangkitan nasional. Bila kita benar-benar memikirkan arti “Kebangkitan Nasional” tersebut dapatkah kita mengambil esensi sesungguhnya? Apakah sebenarnya arti kebangkitan nasional? Apakah ini adalah sekedar ajang untuk menjadi nasionalis sesaat, ketika kita tiba-tiba dihadapkan kepada sesuatu yang mengkhawatirkan masa depan seperti naiknya harga bahan bakar dan krisis pangan?

Satu abad telah berakhir sejak Budi Oetomo didirikan. Suatu organisasi yang akhirnya menjadi salah satu pencetus perjuangan intelektual, sebuah perjuangan yang bukan hanya didasari oleh semangat berani mati di medan perang. Dilihat dari dampaknya, perjuangan intelektual ini, lebih berbahaya dari perjuangan fisik, karena ia menginsipirasikan dan membuat mereka yang bertahta di tampuk kekuasaan akhirnya goyah, karena kebebasan intelektual tidak dapat dikekang, ia eksis di setiap kepala, ia menancapkan sebuah ideologi baru, sebuah ideologi kebebasan bernama Indonesia.

Perayaan kebangkitan nasional tahun ini menjadi sangat istimewa, karena bukan hanya menandakan seratus tahun berdirinya Budi Oetomo, tapi juga 10 tahun sesuatu yang kita namakan sebagai reformasi. 10 tahun yang lalu, dengan semangat bertajuk Indonesia baru kita bertekad untuk lepas dari kungkungan sebuah orde baru yang menjadi kuno. Kita diijinkan untuk bermimpi, akan adanya suatu tatanan yang baru. Tapi sudahkah mimpi itu kita hidupi setelah 10 tahun berlalu? Atau kita tetap masih berada di perangkap yang sama?

Secara ekonomi makro, kita menikmati pertumbuhan yang boleh membuat iri negara-negara maju di Uni Eropa, tapi apakah dengan demikian kita sebagai bangsa telah menjadi lebih sejahtera seperti sebelumnya? Di tengah krisis energi dunia, dengan harga minyak yang menembus lebih dari 125 USD per barel, adalah hal yang sangat mudah untuk kecewa terhadap pemerintahan yang ada, karena tidak sanggup memegang janjinya untuk tidak menaikkan harga bahan bakar. Tapi pertanyaannya, adakah dari kita yang sanggup untuk tidak melakukan hal itu, bila kita berada di tampuk kekuasaan? Protes itu mudah, tapi bila kita berada di sisi lawan dari protes tersebut, tidak gampang untuk mencari jalan keluar dari semuanya.

Tulisan ini, bukanlah tulisan yang hendak pro siapapun. Tapi sebagai suatu bangsa yang merayakan 100 tahun kebangkitannya, apakah kita sudah benar-benar bangkit? Di saat kita semua harus bersatu, memikirkan apa yang terbaik bagi negara ini, kita malah saling menuding, menyalahkan mereka yang dengan sadar kita pilih untuk memimpin negeri ini. Elite politik lain menggunakan kesempatan ini, untuk menyerang lawan politiknya, tidak heran, karena tahun 2009 adalah tahun di mana kita dengan sadar akan memilih lagi siapa yang akan memimpin bangsa ini. Bila ada masa yang paling tepat untuk mengumpulkan pendukung sebanyak-banyaknya, mungkin tidak ada lagi saat yang paling tepat selain sekarang ini.

Sudah seterpuruk itukah makna kebangkitan nasional dan reformasi yang kita yakini. Untuk hal yang disebut terakhir, lihat apa yang kita alami. Kebebasan demokrasi seakan separti kebablasan untuk memihak kepada golongan tertentu. Kekerasan dilakukan di mana-mana, bukan oleh mereka yang tidak tahu mana yang baik dan benar, tapi oleh mereka yang sangat taat beragama, tidak peduli kepercayaan apa yang dipeluknya. Untuk itukah mahasiswa gugur di Semanggi dan Trisakti 10 tahun yang lalu? Ke mana perginya Indonesia yang kita impikan?

Ketika kebebasan kita rangkul sepenuhnya setelah 32 tahun terkungkung dalam korupsi kekuasaan tanpa batas, kita malah buta dengan itu. Kita tidak tahu apa yang harus kita perbuat dengannya. Kita malah menggunakan kebebasan tersebut, untuk mengukung kebebasan orang lain, karena takut kebebasan golongan, kelompok tertentu akan terancam keberadaannya. Kita lupa, kebebasan selalu harus disertai dengan akal sehat, dan pikiran matang, karena kebebasan tanpa itu, hanyalah sebuah plot untuk menjerumuskan diri sendiri ke jurang yang lebih dalam dari sebelumnya.

Lalu ke mana jalan keluar semua ini? Tulisan ini tidak akan memberi, dan tidak pernah dapat memberi jawaban. Yang jelas, kita diambang batas kekacauan yang mungkin tidak pernah kita sadari sepenuhya. Tragedi Mei 1998 ada di sana bukan untuk dilupakan, tapi untuk diperingati agar tidak terulang kembali. Jika kita sadar apa arti kebangkitan nasional, kita harus berpikir sejernih mungkin untuk keluar dari krisis yang kita hadapi sekarang.

100 tahun kebangkitan nasional dan 10 tahun reformasi hanyalah sebuah slogan, bila pada akhirnya, semua masa lalu kelam kita mengejar kita kembali. Perayaan ini semua akan menjadi sesuatu yang sia-sia bila kita kembali kepada keegoisan kita dengan melakukan anarkis di jalan atau dengan membuat keputusan yang menekan rakyat kecil. Kita sebagai rakyat, diberi kuasa untuk memilih siapa yang akan memimpin kita, mereka sebagai pemimpin mempunyai kuasa untuk ingat memberikan yang terbaik bagi tanah air yang kita cintai. Ini bukan saatnya untuk menekan satu sama lain. Ini bukan saatnya untuk mengacau. Ini bukan saatnya untuk melupakan masa lalu. Ini saatnya untuk berubah. Ini saatnya untuk melepas dogma sempit dan berpikir kebangsaan. Ini saatnya untuk bertempur secara intelektual. Ini saatnya untuk bangkit. Selamat merayakan 100 tahun kebangkitan nasional dan 10 tahun reformasi! Kembalikan harapan bernama Indonesia itu ke dalam kehidupan kita.

David Wahyu Hidayat

In A Different Place

Posted in Pikiran Malam on April 28, 2008 by David Wahyu Hidayat

…And we’re smiling, when we’re sleeping, and we’re smiling, when we’re waking…

Jakarta – Bandung – Jakarta dalam waktu 11 jam. Cukup untuk membuat g sebentar melupakan fakta kalau besok adalah hari Senin. Minggu malam seperti malam ini, adalah salah satu malam yang lo rasa lo ga akan pingin untuk melewatinya, dan menginjakkan kaki ke minggu yang baru. G rasa g hanya ingin, akhir pekan itu diperpanjang sedikit lagi, sampai kita semua bisa disegarkan kembali, sebelum balik ke rutinitas. Yah, sebuah impian belaka, namun, siapa sih yang tidak menginginkan hal itu?

Tapi perjalanan singkat ke Bandung itu, cukup menyenangkan. Sesuai dengan porsinya, tidak berlebihan, tidak terlalu singkat. Misi pribadi g, atau lebih tepatnya misi sekelompok orang berjudul sebuah band berhasil dilangsungkan dengan cukup efektif, tanpa gangguan berarti yang signifikan. Terlepas dari itu, g selalu suka perjalanan keluar kota dengan mobil, walaupun perjalanan pulangnya g habiskan dengan tertidur di kursi belakang.

Perjalanan dengan mobil ke luar kota yang kita tinggali, selalu membuat g sedikit terpesona. Mungkin bukan pemandangan yang dilihat di kiri – kanan, karena itu tidak pernah berubah, khususnya bila telah dilewati berulang-ulang seperti ketika menyusuri tol Cipularang. Mungkin yang membuat g terperangah sedikit adalah fakta, bila di saat g melakukan sebuah perjalanan, itu adalah kesempatan g untuk keluar dari segala yang memerangkap g di ibukota. Entah itu, datangnya kembali Senin yang tak terelakkan, atau hal lainnya yang untuk sementara tidak bisa dideskripsikan dan diutarakan. Dan perjalanan barusan cukup membawa penyegaran, dengan segala bercandaan yang dibagi dan cerita-cerita lainnya.

Di dunia modern ini, jarak seperti tidak berarti. Khususnya untuk cerita hari ini, Jakarta-Bandung-Jakarta bisa ditempuh dalam waktu singkat, dengan penemuan bernama tol Cipularang. Untuk lingkup yang lebih luas. Entah di mana orang yang kita kenal berada, tehnologi mempersingkat jarak. Dulu mungkin g masih ngalamin kirim-kirim surat, tapi sekarang, tinggal main-mainin jari sedikit di hp, orang di belahan dunia lain sudah bisa tahu kabar kita. Atau kalo mau lebih ribet dikit (ribet dalam arti, g butuh sambungan internet), “instant messenger” tersedia untuk komunikasi seni lain dengan ketikan dan pilihan “emoticons” shortcutnya ga akan pernah g hafal, dan untuk itu jarang banget g pake (“emoticons” maksudnya, bukan “instant messenger”), kecuali beberapa yg g inget karena sederhana. Bertelfonan di situ pun bisa, kalau mau. G rasa, kalo orang yang kita ajak bicara lagi punya waktu dan bersedia diajak bicara, jarak kadang-kadang sudah bukan masalah lagi. Tinggal waktu mungkin yang bisa menjadi momok, apalagi kalau perbedaan waktunya terlalu besar untuk dijembatani.

Ngomongin waktu, hari Senin sudah tak terelakkan lagi. Terus terang, ini hari Senin yang pingin g hindarin, untuk satu dan lain hal, dan itu mengingatkan g, kalau g sekarang harus bikin presentasi, bukannya malah mengisi pikiran malam, di blog ini. Tapi karena itu, g pingin menghindarinya. Karena sedang tidak bisa berpikir untuk memasuki Senin. Bagaimana pun juga, waktu tidak bisa dilawan, jadi g rasa g berhenti di sini.

…Floating in and out of time, in and out of space. No-one can touch us, We’re in a different space…

David Wahyu Hidayat

The High Fidelity Game pt.1

Posted in Pikiran Malam on April 15, 2008 by David Wahyu Hidayat

*This post was originally published in my old blog. I guess, it won’t hurt anyone if I publish it again, since I’m kinda in a daydreaming mode ;p

Rob Flemming did it, Barry did it, Dick did it. So, let’s have it!!!

My top 5 dream jobs:

1. Guitar player in one of England’s renowned indie band

Why: Get a chance to play your own songs in front of your fans, having your childhood heroes like Ian Brown and Noel Gallagher as your fans, get a chance to tour all around the world, free rider, groupies, and the prospect of knocking Britney Spears from the Nr. 1 spot.

2. Football Player in Liverpool Football Club

Why: The joyful feeling to play in front of the kop, having Steven Gerrard as your team mate, get a chance to play in Wembley stadium in FA Cup final, have the opportunity to trick John Terry while scoring your best goal ever, beat Bayern Munich and any other big European teams in the Champions League.

3. Music Journalist by NME, Q, or Intro

Why: Free gigs, have the chance to interview your heroes, hear the newest album of your favorite artist before anyone else, free records, can influence people to hear better music.

4. Record label or record shop owner

Why: Having your favorite artist in your own label, get every record you want to have, play your favorite record in your own shop without being protested, the fact that your job is basically finding a new music you like and selling it to other people.

5. Best Seller Writer

Why: Creating your own world in your story, let people buy and read it, plus you’ll get rich from it!

David Wahyu Hidayat

Inspired by “High Fidelity” – A novel written by Nick Hornby.

Note: Still thinking that my current job is the best I ever have, I only feel that lately I’m running out of time for anything else

Inspirasi pt.2

Posted in Pikiran Malam on April 14, 2008 by David Wahyu Hidayat

Baru-baru ini g ke Gramedia dan mendapati sesuatu yang menyenangkan. Sesuatu yang mengingatkan g ke masa kecil g. Mulai April ini, Gramedia merilis Tintin kembali dalam bahasa Indonesia (dengan terjemahan yang sedikit beda waktu g baca dulu, sekarang Snowy diterjemahkan dengan nama aslinya Milo, begitu juga dengan Thompson & Thompson yang dipertahankan sebagai Dupond & Dupont). Buat g ini adalah suatu kabar yang sangat menggembirakan, karena sudah cukup lama sebenarnya g berniat untuk mengumpulkan Tintin, karena bagi g serial komik karangan Herge itu sudah seperti sebuah institusi mini dalam kehidupan masa kecil g.

Mungkin bisa dibilang Tintin adalah inspirasi kecil untuk diri g. Harus diakui, g bukanlah fans yang freak terhadap sosok wartawan kecil Belgia itu, tapi bila ditelusuri lebih lanjut, petualangan Tintin ke negara-negara paling eksotis dan paling ujung letaknya di dunia itu, mungkin yang bertanggung jawab akan banyaknya khayalan siang bolong yang g habiskan untuk berkeinginan berada di negara – negara lain, sekedar untuk melihat dan merasakan bagaimana sebenarnya kehidupan di sana. Untungnya, g sudah pernah memperoleh beberapa kesempatan ke negara yang berada di khayalan siang bolong itu, apakah itu sewaktu masa studi g, atau dalam lingkup pekerjaan g.

Entah apa yang dibaca anak kecil jaman sekarang, tapi sayang rasanya kalau sampai mereka tidak lagi mengenal Tintin. Waktu g membeli buku-buku itu, ada seorang bapak setengah baya yang tersenyum melihat tumpukan komik Tintin yang masih bersih berkilap, sepertinya di benaknya tertera pikiran “Wah, ini bacaan g waktu masih kecil nih”. Dia lalu menatap anaknya, dengan harapan bocah kesayangannya itu mau menaruh perhatian terhadap jambul Tintin dan petualangannya, tapi sayangnya si anak langsung melengos ke arah komik-komik Manga yang bertebaran di sudut.

Tidak ada salahnya memang dengan Manga, komik kan bertugas menghibur, mungkin saja generasi sekarang lebih terinspirasikan oleh Manga daripada Tintin. Tapi, mudah-mudahan bisa terwujud, g pingin anak g nantinya paling tidak pernah baca Tintin sekali. Kebayang dia nantinya baca Tintin, sambil dengerin The Beatles. Kalau dia sudah bisa mendapatkan 2 hal itu dari g, rasanya paling tidak dia tidak akan punya lubang kultural yang besar, siapa tahu saja nantinya dia bisa jadi wartawan handal dan penjelajah dunia sekaligus menghibur orang dengan nada – nada pop jenius. Hah, g bisa ketawa sendiri nulis ini, karena sepertinya ini lebih ke obsesi g yang tidak pernah tersampaikan ;p.

Kembali ke soal inspirasi, tadi malam, dalam sebuah perjalanan menyusuri Rasuna-Menteng, g bertanya mengenai hal inspirasi ini kepada seorang teman. “Lo pernah punya tokoh Indonesia yang belakangan ini jadi inspirasi lo ga? Dalam segala bidang?”. Dan dia pun sama seperti g, tidak bisa mengingat satu nama pun yang bisa menjadi inspirasi bagi dirinya. G tidak mau membangkitkan atau bermaksud apapun lewat tulisan ini, tapi bila untuk diri g sendiri, satu-satunya orang Indonesia yang bisa g ingat untuk dijadikan inspirasi adalah Soe Hok Gie, maka ada sesuatu signifikan yang tidak benar yang kita alami atau? Atau mungkin ini lebih ke pandangan pribadi g?

Kita akan mengadakan pemilu tahun depan. Dan g bertekad, seperti juga di Pilkada Jakarta kemarin, g akan pergi lagi ke bilik pencoblosan di hari Pemilu itu dilaksanakan, terlepas dari ada tidaknya tokoh yang menginspirasikan g sebagai bangsa bukan secara golongan, ras, agama, dan daerah tertentu. Karena mencoblos di pemilu adalah pilihan hati nurani g sebagai orang yang terlahir di negara ini, terserah kalian mau mencap g sebagai orang naif atau tidak. Tapi dengan memilih, berarti g peduli. Daripada memilih untuk tidak mencoblos, tapi pada akhirnya ngedumel kiri-kanan. G berharap, akan ada seseorang tokoh yang bisa menginspirasikan bangsa ini, seperti seorang Tintin menginspirasikan seorang anak kecil. Seorang tokoh yang bisa memukau kita sebagai seorang Indonesia sejati. Ia tidak peduli akan kepentingan agama, ras, suku dan golongan tertentu. Yang ia pedulikan hanyalah bangsa yang bernama Indonesia. Tapi sekuat apapun g berharap, sepertinya impian ini tidak akan terwujud tahun depan, kecuali ada sebuah keajaiban terjadi. Di sisi lain, keajaiban tidak terjadi dengan sendirinya, itu membutuhkan sebuah karya dan kerja keras, sampai tahun depan dan bila tidak 2009, masih akan banyak hari lagi yang akan kita habiskan untuk membuat sebuah keajaiban. Sampai hal itu terjadi, g rasa kita semua masih dapat dan tidak boleh berhenti untuk berharap.

David Wahyu Hidayat