Akhir 20-an, Awal 30-an, dan Penskena

Peralihan tahun 2002-2003. Hidup sedang dalam keadaan terbaiknya. Masalah terberat yang dimiliki waktu itu hanyalah bagaimana caranya memaksa diri untuk bangun tidur dan berangkat kuliah setelah malam-malam penuh cairan bernama alkohol yang membuat kepala terasa digedor oleh palu Thor berulang – ulang. Keberadaan diri di tempat yang bukan tanah air, jauh di tengah –tengah Eropa sana, mulai terasa menyenangkan. Pikiranmu lepas berpikir, tindakanmu merdeka untuk berbuat dengan kontrol, bukan tanpa. Jiwa terasa bebas, dan salah satu hal terbaiknya adalah, secara musikalis, mereka yang diproklamirkan sebagai pahlawan – pahlawan pribadi dapat dialami tepat di depan mata sendiri, dan didengar telinga tanpa perantara apapun. Mereka yang telah mendefinisikan masa-masa tertentu di potongan waktu kehidupan. Ya mereka, Gallagher bersaudara, Greenwood bersaudara dan Yorkie, Converse butut Nick Valensi, androgini seorang Brett Andersson, sampai pahlawan di masa-masa awal diri menemukan musik dalam bentuk sebenarnya: Bono, Ed Ved, dan Michael Stipe yang tidak mungkin ada duanya di dunia pop ini.

Merekalah yang memberikan arti dalam kehidupan. Musik mereka berbicara, memotivasi, dan menunjukkan jalan. Musik mereka memberikan harapan. Sepotong kalimat “We gotta make it happen” dalam Cigarretes & Alcohol yang dinyanyikan Liam, memberikan semangat untuk percaya pada diri sendiri dan berbuat sesuatu. Nyanyian itu lebih berarti daripada ratusan buku “Self Improvement”, dan mungkin itu sebabnya, diri ini tidak pernah percaya kepada buku-buku semacam itu. Karena mereka tidak memberikan arti, mereka tidak pernah memberikan definisi dalam kehidupan. Semua musik itu menjelaskan semua yang akan kita hadapi.

Di peralihan tahun tersebut, seseorang memberikan sebuah buku yang sangat menyenangkan untuk dibaca. “Lost In Music” yang ditulis oleh seorang penggila pop bernama Giles Smith. Di awal buku itu ia menanyakan suatu pertanyaan “Jika seseorang telah melewati masa 20-annya dan memasuki era kepala tiga, haruskah ia merelakan semua kecintaannya pada dunia pop, dan mulai mendengarkan musik klasik, jazz dan segala macam lainnya yang terdengar lebih sesuai bagi seorang yang telah berada dalam posisi tersebut?”. Yang ia lakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah, ia memilih untuk mencintai musik yang selalu ia cintai, karena ia telah terlanjur tersesat di dalamnya. Meninggalkan hal tersebut bukanlah pilihan, karena mereka (musik) telah menjadikan hidupnya seperti yang ia dapati sekarang ini.

Berada di ambang akhir 20-an, tidak pernah disadari adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Satu-satunya bagian yang tidak menyenangkan adalah ketika melihat sekitar, orang – orang yang tadinya sempat dikenal dan berada dalam kelompok umur yang sama mulai tergerogoti oleh polusi korporasi, manisnya kehidupan bernama keluarga dan hal-hal lainnya yang merubah kehidupan. Sepertinya hidup itu tidak bisa dilawan. Sepertinya sekeras apapun kita berusaha, untuk tidak berubah dan selalu berada dalam zona satu-satunya yang dipikirkan adalah betapa indahnya solo gitar seorang Russel Lissack di “She’s Hearing Voices”, kita akan kalah dengan kehidupan itu sendiri. Cepat atau lambat, pikiran lain mulai menggerogoti imajinasi kita. Tabungan di bank, cicilan kendaraan, tempat tinggal mana yang cocok untuk berkeluarga, aspek akademis putra-putri kita dan seterusnya dan selanjutnya.

Hanya berimajinasi dan berpikir seperti itu, membuat diri tersentak kalau musik yang berada di dalam kepala dan telinga terancam untuk tergerogoti sedikit demi sedikit. Itu adalah salah satu bayangan masa depan yang suram. Tidak. Jawabannya adalah tidak. Memang semua kecemasan baru akan datang, dan apa yang akan dihadapi akan lebih berat daripada memikirkan antioksidan apa yang dibutuhkan untuk memerangi serangan alkohol yang membuat pikiran tidak mampu berpikir, tapi itu semua bukan alasan untuk menyerah ke dalam kehidupan korporasi dan kedewasaan yang dipatoki oleh masyarakat.

Sepertinya diri ini, untuk beberapa alasan terjebak di tahun 90-an. Dan dekade itu masih berfungsi sebagai sumbu putar kehidupan ini. Dan sekeras apapun kehidupan akan mengerogoti optimisme tahun 90-an, diri ini tidak akan menyerah. Untuk membiarkan semuanya terlepas dan menghianati mereka yang telah memberikan arti begitu banyak dalam kehidupan ini, hal itu tidak akan pernah terjadi. Sampai kapanpun, musik klasik tidak akan pernah menjadi penyemangat bangun tidur, waktu bekerja, sampai momen-momen percintaan. Karena diri ini bukanlah seorang penskena, yang mencintai sesuatu atau tepatnya berkesan untuk mencintai sesuatu hanya agar dapat digunakan sebagai bahan obrolan.

Mereka yang melakukan hal-hal seperti itu, seperti orang yang tidak punya pendirian, dan tidak punya rasa loyalitas terhadap apapun yang pernah memberikan arti kehidupan. Mungkin itu rasanya fans Chelsea yang sudah mencintai klab tersebut sejak Zola masih merumput di sana, terhadap fans – fans baru kubu Stamford Bridge tersebut, yang baru menyukai tim itu setelah miliaran uang Abramovitsch mengalir ke sana.

Arti keloyalan bukanlah hanya terhadap komitmen percintaan atau apapun yang memenuhi idealisme manusia. Loyal, berarti juga setia terhadap mereka yang telah memberikan impresi sebegitu dalamnya kepada kehidupan. Ketika memutuskan untuk mencintai Liverpool FC, klab sisi merah dari Mersey tersebut hanya menjuarai liga Inggris sekali sampai sekarang, tapi akankah itu mengubah loyalitas diri ini? Tidak, karena ketika waktu itu melihat seorang John Barnes meliuk-liuk di Wembley dan seorang Ian Rush menaklukkan kiper sisi biru dari Mersey di Wembley tahun 1989, mereka memberikan inspirasi terhadap seorang anak kecil. Dan inspirasi itu tetap diberikan sampai sekarang, tidak ada yang berubah.

Beberapa hari yang lalu, seorang teman pernah bertanya “Kenapa sepertinya lo, kalo udah suka terhadap suatu band, ga pernah bergeming, walaupun album-album sesudahnya jelek setengah mati?”. Jawabannya adalah, karena diri ini tidak bisa menghianati mereka yang telah membuat sesuatu yang mengagumkan terhadap kehidupan, dan lagipula bagi diri ini, mereka tidak akan pernah menelurkan musik yang buruk, karena bagian yang telah dilakukan musik tersebut. Katakan itu subyektifitas, tapi bukankah itu semua inti semuanya ini? Kita mencintai sesuatu, karena mereka telah membuat sesuatu yang berarti dalam kehidupan masing-masing kita, dan untuk itu kita akan selalu berhutang kepada mereka.

Itu masalahnya kepada semua penskena, yang mencoba mencintai sesuatu karena media mengatakan mereka untuk mencintai sesuatu. Itu sebabnya ketika seseorang berumur 30-an, mereka beralih ke Jazz, musik Klasik dan hal lainnya, karena menurut panduan tak resmi seseorang di umur 30-an, sudah tidak pantas lagi mendengarkan musik dari sebuah band yang masih luntang-lantung dengan rambut Beatles dan sepatu Adidas. Maaf, tapi diri ini tidak bisa melakukan itu.

Harapan yang terbersit adalah, merasakan ekstase kepada album baru Gallagher bersauadara, tersenyum penuh kekaguman terhadap teriakan Kele Okereke yang dibalut sample-sample elektronik ketika album baru Bloc Party dirilis, dan setelahnya, dengan penuh semangat melakukan pembicaraan tanpa akhir mengenai keindahan musik itu. Untuk melakukan itu; berapa banyak digit umur diri ini, banyaknya pekerjaan yang memenuhi jadwal, senyuman putri-putra ketika merayakan ulang tahunnya yang kelima, kebahagiaan istri yang ingin merayakan ulang tahun perkawinan; tidak akan merubahnya. Karena diri ini bukanlah penskena. Karena kehidupan ini dibentuk dari suara-suara supersonik itu, dan itu harus dihidupi dan dibagikan. Selamat tinggal 20-an, selamat datang 30-an. Sesuatu yang mengagumkan akan segera terjadi!

David Wahyu Hidayat

2 Tanggapan to “Akhir 20-an, Awal 30-an, dan Penskena”

  1. crayonirachan Says:

    Mmmhhh…obviously i’m not 30 and i listen to jazz…hehehe….
    and yeah i’m amazed how well ur writing is…darn…i envy you..

  2. ga tau kenapa, gue ngerasa sama kayak loe,,
    meskipun gue masih 19 tahun, tapi masa2 kenangan di 90’s sangat menginfluence hidup gw.. dimana pada masa2 itu masih kental dalam ingatan gue (meskipun gw masih TK) saat thn 96 videoklip “don’t look back in anger” ditayangin di mtv indonesia. Terus video klip beatles yg “free as a bird”… sangat kental dalam memori gw, dan terus terang the best moment in my music life! extasinya masih berasa sampe sekarang, antara “don’t look back in anger” n “free as a bird”
    gue juga kalo suka sama suatu band sampe seterusnya gw bakal terus mengidolakannya meskipun udah lewat masanya…

Tinggalkan komentar