Kegilaan virtual dan hal-hal yang dirindukan karenanya

Posted in Pikiran Malam with tags , , , , , , , on Juni 24, 2016 by David Wahyu Hidayat

IMAG3454_1_1

Kegilaan virtual dan hal-hal yang dirindukan karenanya

 

“And nothing’s going to change the way we live/Cos’ we can always take but never give/And now that things are changing for the worse, see, it’s a crazy world we’re living in….Futures made of virtual insanity now…For useless, twisting, our new technology…” Virtual Insanity – Jamiroquai (1996)

 

Sore ini di tengah cuaca Jakarta yang lebih mirip bulan Desember dibandingkan bulan Juni, dan diperparah dengan suhu di kantor yang membuat manusia di dalamnya tidak betah menatap layar komputer yang seharusnya menjadi bagian dari pekerjaannya, pikiran saya melayang untuk sesaat. Tiba-tiba saya punya urgensi yang sangat untuk pergi ke toko rekaman musik, menelusuri raknya satu-persatu tanpa memiliki satu ide satupun, musik apa yang akan saya beli, sampai akhirnya menemukan sebuah permata dalam CD sebuah band yang sudah lama saya cari. Saya rindu akan masa-masa itu, sampai kemudian terhenyak bahwa saya tidak akan dapat mengulangnya kembali, setidaknya kecil kemungkinannya di Jakarta, karena toko CD sudah seperti sebuah dinosaurus yang hampir lenyap dari peredaran masa ini.

 

Entah apa yang Jay Kay aka Jamiroquai pikirkan waktu menulis Virtual Insanity dari album hitsnya Travelling Without Moving, 2 dekade silam. Karena judul lagu dan album itu menjadi kenyataan pada saat ini. Kita hidup dalam kegilaan virtual di mana hal-hal yang 5 tahun lalu masih terlihat lumrah, saat ini sudah menjadi barang usang yang terancam eksistensinya.

 

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah artikel di The Guardian (https://www.theguardian.com/business/2016/jun/04/sweden-cashless-society-cards-phone-apps-leading-europe), bahwa Swedia sudah sedikit lagi menjadi masyarakat di mana semua jenis pembayaran dilakukan tanpa uang kertas, dalam arti semua dilakukan secara elektronik mulai dari transaksi bank, mini market, bahkan di gereja sekalipun. Menurut artikel tersebut pembayaran tunai hanya merangkum kurang dari 2% dari seluruh pembayaran yang dilakukan di Swedia tahun lalu, dan angka tersebut akan menjadi 0.5% pada 2020.  Saya tidak bisa meramalkan kapan hal yang terjadi di Swedia dapat terjadi di Indonesia, tetapi jika melihat kenyamanan kita menggunakan segala sesuatu berbau digital (Moda transportasi berbasis aplikasi contohnya) rasanya hal itu tidak akan lama lagi.

 

Kembali ke khayalan tengah sore saya tadi. Begitu juga dengan menemukan dan menikmati musik. Pra-Internet, band adalah sekumpulan manusia setengah dewa yang sangat mistis keberadaannya. Kita tidak bisa mengira seperti apa kehidupannya, bagaimana mereka dapat menciptakan musik seperti itu. Walaupun saya belum lahir pada saat itu, sampai sekarang kita tidak pernah tahu bagaimana The Beatles dapat menciptakan Tomorrow Never Knows di tahun 1966. Musik di lagu itu bisa saja diciptakan tahun 2020. Band sekarang membuka semua rahasia mereka melalui media sosial dan sarana lainnya melalui Inernet. Sebelum Coldplay menginjakkan kakinya di pertunjukkan paruh waktu Superbowl tahun ini, kita sudah dapat melihat persiapan mereka di Youtube. Di satu sisi kita bergairah melihatnya, di satu sisi itu menghilangkan kemagisannya.

 

Begitu juga dengan majalah musik. Semenjak SMA sampai mahasiswa, majalah musik adalah satu-satunya sumber kebenaran mengenai band dan musik yang kita gilai. Kita mengkonsumsi semua kebenaran darinya seperti kita mencari kebenaran dalam kitab suci kita masing-masing. Sekarang majalah musik, bahkan yang ternama seperti NME sekalipun mengemas beritanya seperti tabloid: instan dan terkini, terkadang hanya selentingan seperti kicauan di twitter. Seakan mereka takut akan kalah dalam perlombaan pemberitaan musik dari sosial media yang memang selalu selangkah lebih maju.

 

Di majalah musik juga, sebuah album dibedah dalam bentuk ulasan. Kita digairahkan dengan segala deskripsi di dalamnya, berimajinasi akan musik yang majestik ataupun menyetujui akan sampahnya suatu musik. Jika kita setuju dengan ulasan positif di dalamnya, kita mengangkat pantat kita dari tempat tidur, pergi ke toko rekaman musik dan membeli musiknya, lalu berdansa penuh kemenangan dalam kamar yang gelap diiringi musik yang baru saja kita beli. Lalu apakah ulasan musik masih relevan di era musik streaming ini?

 

Saya pernah setengah bercanda dengan salah satu teman SMA saya baru-baru ini melalui sebuah pesan singkat, aplikasi musik streaming itu layaknya kita pergi ke sebuah acara food tasting di arena seluas GBK, di mana kita dapat mencicipi semua jenis makanan, tanpa batas waktu. Kita tidak peduli lagi makanan mana yang memang akan kita cicipi, makanan mana yang memang kita sukai dan makanan mana yang menjadi favorit kita. Kita mencobai keseluruhan makanan yang ada di sana, karena semuanya memang tersedia di hadapan kita. Dan keesokan harinya, kita dapat mengulanginya, dan esok harinya lagi, sampai dunia kiamat. Tidak ada lagi filter bernamakan selera, dan untuk itu keberadaan ulasan musik berkualitas menjadi irelevan.

 

Ah, tapi mungkin saya tidak perlu menghadapi semua ini se-skeptis itu. Saya ingat benar, saya dulu sangat anti dengan yang namanya iTunes, tapi akhirnya saya sangat menikmati membeli musik di sana (walaupun masih sangat kangen beli musik fisik di toko musik, bahkan sangat rindu like a dessert miss the rain kalau bahasanya Everything But The Girl). Sekarang pun atas nama penasaran, saya punya Spotify di ponsel pintar saya, walalupun hampir tidak pernah saya sentuh.

 

Yang jelas semua kegilaan virtual ini memberikan kita akses hampir tidak terbatas kepada banyak hal. Musik yang tidak terbatas, pilihan film yang tidak terbatas, pilihan pesan antar makanan yang tidak terbatas, dan entah apalagi yang akan dan sedang dipikirkan orang-orang jenius planet ini. Terserah bagaimana kita mau menyikapinya, apakah memeluknya dengan hangat atau menolaknya tapi kemudian menjadikan kita manusia yang obsolet keberadaannya. Modern Life Is Rubbish kalau kata Blur, tetapi satu hal yang pasti kita tidak bisa melarikan diri darinya.

 

David Wahyu Hidayat

 

Playlist saya waktu berkhayal sore tadi, dan menulis blog ini (Kemungkinan besar kalian butuh aplikasi streaming musik jika ingin mendengarnya juga :p ) :

 

  1. Virtual Insanity – Jamiroquai
  2. A Design For Life – Manic Street Preachers
  3. A Life Less Ordinary – Ash
  4. Pick A Part That’s New – Stereophonics
  5. Getting Better – Shed Seven
  6. Cum On Feel The Noize – Oasis
  7. Moving – Supergrass
  8. Alma Matters – Morrissey
  9. Picnic By The Motorway – Suede
  10. Best Days – Blur

 

 

 

…Indonesia harus tetap satu..presidennya nomor dua

Posted in Uncategorized with tags , , , on Juli 6, 2014 by David Wahyu Hidayat

IMG-20140627-WA0003

 

Dalam lingkup lingkungan pekerjaan, jika kita diberi kesempatan untuk memilih seorang pimpinan, seorang pemimpin apakah yang akan kita pilih?

Apakah seorang pemimpin yang dengan tegas, berapi-api mengutarakan setiap pemikirannya, namun cenderung memaksakan kehendak tanpa memberi ruang untuk bertukar pikiran? Seseorang yang jejak rekamnya penuh kontroversi karena pengalaman hidupnya di masa lalu, bahkan pernah dipecat dari posisi pemimpin yang ia jabat. Seseorang yang orang-orang terdekatnya mempromosikan dirinya dengan mencuri hasil jerih payah orang lain, dengan tanpa pikir panjang mempertontontonkan sebuah simbol yang melambangkan penokohan ideologi fasisme, dan yang memperoleh dukungan dari orang-orang yang dikenal dengan aksi intoleran dan anarkis.

Atau akankah kita memilih seseorang yang jejak rekamnya kita ketahui, selalu bekerja keras untuk kebaikan orang-orang yang dipimpinnya?  Seseorang yang mau berdialog dan bertukar pikiran, yang kemudian bersama-sama melakukan sesuatu yang baru untuk kebaikan bersama, sehingga dirinya menjadi bagian dari solusi dan bukan merupakan pecahan dari masalah. Seseorang yang kesehariannya sederhana, sehingga kita merasa bahwa dirinya adalah bagian dari kita dan mengerti apa yang kita inginkan.

Jika atasan yang saya pilih adalah tipe yang disebutkan pertama, maka bukan tidak mungkin saya akan merasa tertekan dan memiliki beban moral. Ketika melihat kemungkinan bahwa dialog tidak akan terjadi atas nama ketegasan dan ketika orang-orang di sekitarnya intoleran terhadap keragaman yang ada.

Saya tidak tahu dengan kalian, tapi saya akan memilih tipe pemimpin yang nomor dua. Karena dengannya saya tidak akan merasa tertekan dan memiliki beban moral. Dengannya saya merasa bisa berevolusi untuk memberikan yang terbaik untuk diri saya dan berkontribusi untuk orang-orang di sekitar saya. Itu alasan saya akan memilih Jokowi sebagai presiden pada 9 Juli 2014 nanti.

Mengapa Jokowi?  Saya rasa tautan video Anies Baswedan berikut lebih bisa menjelaskan mengapa Jokowi orang yang cocok untuk memimpin Indonesia.

Bagi saya Jokowi adalah sebuah harapan baru untuk sebuah perubahan. Ketika yang lain berbicara untuk membangkitkan dan melindungi kekayaan alam Indonesia, Jokowi berbicara mengenai rakyat Indonesia,  mengenai kamu dan saya. Tentang memanusiakan manusia melalui revolusi mental. Yang dianggap sebagai bagian dari solusi adalah kita, bukan sumber daya alam negeri ini, bukan anggaran negara, tetapi kita yang sehari-hari hidup di tanah air ini, menghirup udara negeri ini, berpeluh mencari nafkah di di atas tanah pertiwi.

Saya rasa belum pernah saya begitu peduli terhadap Pemilu negeri ini. Saya peduli karena saya tahu ini adalah kesempatan untuk kita semua sebagai bangsa Indonesia mengukuhkan ke-Indonesiaan kita. Menegaskan nilai-nilai yang selalu saya kenal sejak kecil, bahwa negeri ini adalah negeri yang berdiri atas keragamannya, yang toleran terhadap sesamanya, yang cinta akan ke-Indonesia-annya, baik itu alamnya, budayanya, bahasanya, dan masa depannya. Tanggal 9 Juli 2014 nanti saya memilih Indonesia untuk tetap satu…presidennya nomor 2.

 

jokowi gbk

David Wahyu Hidayat

Keep calm….

Posted in Uncategorized on Mei 8, 2013 by David Wahyu Hidayat

image

Frase “Keep calm and carry on” pertama kali digulirkan pemerintah Britania Raya untuk menyemangati warganya agar tetap menjalankan kehidupannya, meskipun negaranya, khususnya London tengah dihujam roket roket maut Nazi Jerman. Sebuah frase sederhana dapat menyambung kehidupan di saat-saat sulit.

Frase tersebut kemudiaj dimodifikasi dengan berbagai macam bentuk, sehingga kita menganggapnya hanya sebagai sesuatu yang hip tanpa pernah memaknainya.

Jika rangkaian kesialan dan ketidakberuntungan menimpa kita: pekerjaan yang menumpuk, e-mail dan telefon yang tidak terbalas ketika membutuhkan informasi penting, pembatalan sepihak atas pesawat yang kita akan tumpangi untuk bertemu dengan orang yang kita kasihi. Maka seringkali dalam kejadian serupa tersebut, reaksi kita sebagai seorang manusia adalah meledakkan emosinya. Kadang terkendali, kadang lepas kontrol.

Di saat seperti itu, kita lupa kemanusiaan kita sebagai seorang manusia. Kita berubah, seperti monster yang tujuan utamanya melepaskan hasrat kebinatangannya dengan melumat yang lebih lemah. Jika di saat manis kita bisa berkata hidup kita indah dan kita dapat selalu berpegang pada agama, prinsip, didikan, nilai dan moral, di saat keberuntungan tidak berpihak pada kita. Kita akan cepat bertindak bukan sebagai mahluk ciptaan tertinggi, tapi ya seperti monster tadi.

Jika kita berhenti sejenak, memahami semuanya yang kita alami dan frase “Keep calm and carry on” tadi, maka kita seharusnya mengerti bahwa segala sesuatunya terjadi dengan alasan dan waktu yang telah ditentukan. Bahwa apapun yang terjadi, semuanya pasti akan terlewati sesuai dengan kehendak yang empunya bumi, langit, dan lautan. Karenanya kita akan bersyukur, menenangkan diri, tersenyum dan melanjutkan kehidupan ini.

David Wahyu Hidayat

Kehidupan yang kita kenal selama ini telah berakhir

Posted in Uncategorized on Januari 19, 2013 by David Wahyu Hidayat

Musiklub

 

Sekitar tahun 2003 saya membaca sebuah artikel tentang masa depan industri musik. Artikel itu mengatakan dengan terus menurunnya penjualan fisik dari keping musik dalam format apapun, akan mengubah cara kita mengkonsumsi musik. Musik tidak lagi akan dibeli dalam bentuk CD atau mungkin vinyl, tapi dalam format digital dan jika kita melihat tren beberapa tahun terakhir ini, kehadiran iTunes dan toko musik digital lainnya mengkonfirmasi prediksi tersebut. Bagi saya, membaca artikel itu seperti membaca sebuah masa depan yang kelam, karena akan mengetahui dunia yang saya kenal selama ini, tidak akan selamanya berada. Keping CD digantikan dengan file .mp3, sampul album yang baunya seperti candu dan gambarnya kita telusuri dengan telapak tangan akan digantikan dengan file .jpg beresolusi tinggi tetapi dingin tidak bereaksi. Dunia akan berakhir, pikir saya waktu itu.

 

Minggu ini, selain musibah banjir yang mendatangi ibukota, ada musibah lain yang menghampiri orang-orang seperti saya. HMV, retailer musik, film dan video game yang memiliki 230 toko di Inggris & Irlandia, 6 di Hong Kong serta 2 di Singapura tidak dapat memperpanjang pinjamannya kepada bank, dan terpaksa harus mengadministrasikan kepentingan finansialnya kepada perusahaan auditor Deloitte. Sekitar 4000 pekerja terancam kelangsungan hidupnya. Terlebih lagi, setelah lebih dari 9 dekade sebagai ikon retailer di Inggris, institusi ini diperkirakan tidak akan bertahan. Mengapa ini mempengaruhi orang seperti saya, dan mengapa retailer seperti HMV tidak akan bertahan?

 

Kalau dipikir-pikir, di Indonesia tidak ada perwakilan HMV jadi mengapa saya harus kecewa dengan apa yang terjadi dengan mereka? Tapi kejatuhan HMV ini adalah sebuah benang merah bahwa tidak ada lagi tempat untuk toko penjual CD dengan isi yang mewakili selera di luar arus utama. Salah satu tempat saya membeli CD di ibukota, yang letaknya di salah satu mal di daerah Jakarta Selatan, selepas tahun baru melemparkan twit terakhirnya “See You Again Soon”. Tidak jelas apakah artinya mereka tutup atau renovasi, atau relokasi? Saya hanya berharap akan 2 pilihan terakhir. Karena toko tersebut telah memasok saya dengan musik-musik supersonik sejak saya kembali ke Jakarta 2005 silam, dengan album handal Tame Impala “Lonerism” sebagai pembelian terakhir saya di toko itu. Kemudian jika kita masih bisa mengingat beberapa tahun lalu Aquarius menutup tokonya di jalan Arteri Pondok Indah. Jelas sudah, bisnis penjualan musik secara fisik tidak bisa diharapkan lagi sebagai bentuk bisnis yang menguntungkan.

 

Padahal penjualan musik secara fisik di Inggris tidaklah separah yang dibayangkan, bahkan diberitakan sangat sehat. Hanya saja mereka tidak membelinya di HMV tetapi melalui toko online seperti Amazon, yang dengan aturan pajak lebih menguntungkan dapat menjual CD lebih murah. Diberitakan oleh beberapa sumber, HMV tidak cukup cekatan mengantisipasi hal ini dan menggali lobang kuburnya sendiri, terlebih dengan tidak lagi lengkapnya koleksi mereka bila dibanding dengan Amazon.

 

Secara umum tutupnya toko seperti HMV di Inggris, ataupun Aquarius ataupun Musiklub akan mencabut sebuah pengalaman berarti yang saya selalu tekuni sejak usia saya menginjak belasan tahun. Seorang teman saya membagikan artikel Empire yang mengomentari apa yang terjadi dengan HMV berjudul “The dying art of browsing”. Sejak remaja pengalaman memasuki sebuah toko CD, menyusuri rak-raknya, berharap menemukan album dari sebuah band yang mendefinisikan masa remaja adalah sebuah momen yang dapat membangkitkan orgasme tanpa unsur seks di dalamnya. Atau luapan kebahagiaan kecil yang ditimbulkan, ketika seorang yang tidak kita kenal mengambil “Definitely Maybe” beberapa kaki jaraknya dari kita yang sedang menelusuri apakah album best of Ride sudah tersedia di sana.

 

Di Inggris, mungkin selain kehilangan sebuah institusi yang telah membentuk kehidupan rakyatnya dan kekuatiran dunia retail akan persaingan dengan toko-toko online, bagi mereka yang mengkonsumsi musik secara fisik hal ini mungkin tidak akan terlalu dipusingkan. Karena mereka masih akan memiliki Rough Trade, atau pun ratusan toko-toko indie lainnya. Tapi bagi kita di negara ini, kehilangan Aquarius ataupun toko sekecil Musiklub akan sangat berarti karena penggantinya secara substansial tidak akan secepat itu dapat ditemukan atau malah menghilang sama sekali. Memang sebuah rantai toko buku hip masih menjual segelintiran CD maupun vinyl, tetapi pengalaman menyusuri rak itu tidak akan dapat digantikannya. Atau banyak juga toko-toko indie yang masih menjual musik-musik dari band indie terhebat tanah air ini, dan saya bersyukur mereka ada di sana, tetapi akses ke sebuah keping musik fisik artis internasional akan menjadi lebih susah. Beberapa orang mungkin punya akses ke vinyl entah sebagai hipster ataupun penikmat musk sejati, tetapi orang seperti saya yang mengkoleksi musik dalam bentuk CD akan menjadi kaum yang paling terpukul atas punahnya toko-toko tersebut.

 

OK, harus diakui saya pun menikmati musik dalam bentuk digital, dan punya koleksi lagu dalam bentuk digital pula yang sebagian besar saya konversi dari CD yang saya miliki. Saya bertahan beberapa lama sebagai orang terakhir yang membawa discman ke manapun saya pergi sampai akhirnya menyerah dengan pemutar musik digital, dan sejak Desember lalu ponsel pintar dengan kapasitas GB yang besar. Tapi untuk menikmati musik entah dalam format analog maupun digital, saya harus memiliki akses ke musik. Saya tidak berkeberatan membelinya, karena saya merasa sejak belasan tahun, hal itu telah menjadi balasan saya kepada para musisi yang telah membantu mendefinisikan hidup saya. Yang membuat saya jungkir balik mendengar berita ini, selain pengalaman yang terenggut itu, juga adalah bayangan akan tidak adanya akses ke musik.

 

Di dunia serba digital ini, dalam salah satu artikel yang saya baca setelah berita HMV menyebar luas, mungkin pengalaman menyusuri rak-rak itu akan digantikan dengan mengklik videoklip di Youtube, mendengarkan musik baru melalui Soundcloud ataupun berbagi ekstase akan musik melalui 8tracks seperti yang telah saya lakukan juga akhir-akhir ini. Sedangkan untuk akses, Apple Store Indonesia akhirnya menjual musik dan film yang dapat memuaskan hasrat penikmat kedua jenis karya seni tersebut. Rak-rak itu akan digantikan dengan klik, dilengkapi dengan rekomendasi dari orang-orang yang berkomentar terhadap musik yang mereka beli secara digital. Beberapa hari setelah Apple membuka akses pembelian musik kepada pengguna di Indonesia, saya menemukan sebuah album yang tidak dapat lagi saya temukan bentuk fisiknya. Saya membeli album itu dari band bernama South, berjudul “From Here On In” seharga 45.000 IDR. Kehidupan modern memang kejam, namun mungkin ini satu-satunya cara untuk tetap menjadi waras.

 

David Wahyu Hidayat

Ulasan buku: Pulang – Leila S. Chudori

Posted in Ulasan Buku on Januari 5, 2013 by David Wahyu Hidayat

Pulang

Pulang

Leila S. Chudori

KPG, 2012

Pertemuan saya dengan buku ini adalah sebuah ketidaksengajaan. Ribuan kaki di atas samudera hindia, saya terkantuk berada di sebuah pesawat pada pagi-pagi buta untuk menemui istri saya. Di depan saya tergeletak sebuah majalah Tempo yang saya beli beberapa hari sebelumnya. Untuk menikam waktu terbang di jam yang kurang manusiawi itu, saya membaca majalah tersebut. Setelah semua artikel utama saya baca, mata saya tertumbuk pada ulasan buku terbaru Leila S. Chudori berjudul “Pulang”, dan habis membaca ulasan tersebut saya bertekad untuk membeli buku sepulangnya ke Jakarta.

“Pulang” adalah sebuah novel yang luar biasa, tidak hanya bercerita tentang “perzinahan politik” dan “malpraktek sejarah” tetapi juga bercerita tentang cinta dan tentang pilihan. Tentang cinta antara seorang mahasiswa bernama Dimas Suryo dan seorang kembang kampus bernama Surti, tentang cinta Dimas Suryo dan anak perempuan bernama Lintang, tentang memilih Led Zeppelin sebagai band terhebat sepanjang masa, tentang memilih makam Oscar Wilde di Cimitiere du Père Lachaise sebagai tempat menenangkan diri, tentang manusia-manusia yang karena pilihannya, atau dalam kasus Dimas Suryo tidak memilih, harus diasingkan dari tempat kelahirannya, tapi tetap mencintai tanah airnya.

Dengan melakukan riset selama 6 tahun untuk membangun cerita, latar belakang tempat dan sejarah serta tokoh-tokoh di dalamnya, novel ini seperti sebuah fiksi yang terlalu dekat dengan sejarah. Dengan Paris Mei 1968, dengan Jakarta Mei 1998. Sekilas membacanya mengingatkan akan karya Jeffrey Eugenides “Middlesex” yang memenangkan Pullitzer tahun 2002. Eugenides juga membangun ceritanya dekat dengan realita, tetapi sebenarnya itu adalah fiksi. Tokoh-tokoh di dalam “Pulang” sangat nyata. Jika Dimas, Mas Nug, Tjai, dan Risjaf bergulat di negeri asing dan memeras otaknya sampai menemukan ide brilian untuk membentuk restoran “Tanah Air” di Paris, kita dapat merasakan dilema mereka. Ketika Dimas dengan hasrat dan gairahnya menyatakan cintanya kepada Surti, atau ketika Alam dengan semua hasratnya melepaskan cintanya kepada Lintang sampai semua kancing itu berhamburan di bawah gentingnya langitnya Jakarta di tahun 1998, semua itu digambarkan dengan tidak picisan namun dengan tutur bahasa yang memang menggambarkan perasaan masing-masing tokohnya.

Tapi yang terpenting adalah elemen untuk meluruskan “perzinahan politik” dan “malpraktek sejarah” yang terjadi di negara ini sejak September 1965. Bagi banyak orang, buku ini akan mencelikkan mata sejarah baru, membangkitkan rasa ingin tahu untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu. Selain itu, buku ini akan melahirkan rasa cinta tanah air yang baru. Bahwa apapun suku, campur atau tidak campur, pandangan politik; kita semua yang lahir di I.N.D.O.N.E.S.I.A berhak menjadi warga negara dan mencintai tanah air ini. Itu tercium di dalam cerita Dimas kepada Lintang mengenai Ekalaya, dalam bau masakan menggiurkan di restoran “Tanah Air” yang digambarkan dengan sangat sempurna, dan mengapa kata reformasi begitu dekat pada dada Lintang, seperti bau tanah Karet yang begitu familiar pada hidung Dimas.

Untuk saya pribadi, buku ini mengingatkan saya akan orang-orang seperti Dimas, Mas Nug, Tjai dan Risjaf yang pernah saya temui sewaktu menjalani kuliah di Jerman. Walaupun mereka tidak pernah bercerita dengan jelas sebab akibat kenapa mereka sampai terdampar di sana, hanya segelintiran kata di sana-sini, tetapi kami para mahasiswa Indonesia merasakan kedekatan dengan mereka. Seperti seorang paman yang baru ketemu setelah belasan tahun. Dekat, dengan rasa kekeluargaannya, dengan road trip konyol ke Amsterdam berbekal rendang bikinannya, dengan “Bumi Manusia” Pramoedya yang dipinjamkannya ke saya. Saya, dan saya yakin juga semua teman-teman saya pada waktu itu tidak pernah merasa mereka berbeda dengan kami, mereka adalah bagian yang sama dari I.N.D.O.N.E.S.I.A yang kita selalu kangeni dan cintai bersama.

Sudah lama saya tidak membaca novel sebrilian “Pulang” dan saya bersyukur boleh ditemukan dengan novel ini, karena novel ini tidak hanya mengajarkan kita untuk tidak pernah melupakan sejarah tetapi juga untuk menentukan pilihan, serta mencintai orang yang kita kasihi, orang tua dan juga tanah air.

David Wahyu Hidayat

2012 Dalam Ingatan

Posted in Pikiran Malam on Desember 30, 2012 by David Wahyu Hidayat

 

2012

2012 Dalam Ingatan

 

Saya mengingat mengawali 2012 jauh di pinggiran selatan Jakarta, tetapi dekat dengan sekumpulan orang yang sangat mendefinisikan hidup saya di tahun ini dan setelahnya. Saya teringat menyaksikan mesiu yang berubah menjadi pancaran cahaya di langit Jakarta dan pekaknya menyambut tahun ini dengan gemuruh. Di samping saya adalah perempuan yang saya cintai, yang kemudian saya nikahi 7 bulan kemudian. Di sekeliling kami adalah orang-orang yang nantinya menjadi mertua serta kakak dan adik ipar saya. Saya mengingat semua itu adalah baik adanya.

 

Saya teringat memasuki bulan Februari, dengan kenyataan mengejutkan bahwa ayah saya harus menjalani operasi, untuk mengobati penyakit yang melekat pada dirinya. Saya mengingat, semua itu kami serahkan sekeluarga kepada Yang Maha Kuasa, dan saya menyadari segala sesuatu yang dapat terjadi adalah karena penyertaan-Nya.

 

Saya teringat duduk di ruangan bioskop di akhir bulan Maret, menyaksikan Iko Uwais dengan tangkasnya menghabisi para begundal di gedung yang sarat dengan gembong kriminal terlawas. Saya tersenyum, di dalam segala kesadisan film laga tersebut, karena pada akhirnya ada sesuatu yang layak dibanggakan di perfilman Indonesia, dan kita  boleh berdiri tegak sebagai warga negara pemegang paspor hijau karena “The Raid” akhirnya dikenal dunia.

 

Saya teringat bulan Mei tahun ini, adalah bulan yang istimewa. Masih terbayang dengan sangat, ketika akhirnya dapat melihat sang legenda hidup Manchester, Morrissey merobek kemejanya sambil melantunkan “I know it’s over” di bawah atap tennis indoor senayan pada 10 Mei 2012. Lima hari kemudian kenangan akan sesuatu yang memiliki pancaran legendaris saya saksikan, ketika Pure Saturday mempersembahkan album terbaru mereka “Grey” didekap oleh kemegahan Gedung Kesenian Jakarta. Saya teringat akan 19 Mei 2012 adalah hari penting bagi keluarga tunangan saya pada waktu itu, karena itu adalah hari bahagia di mana kakaknya mengikat tali pernikahan dengan pria yang dicintainya. Ayah saya yang sudah berangsur-angsur pulih dari serangkaian operasi yang harus dialaminya, pun turut berbahagia menghadiri pernikahan mereka. Kami semua mengenang Mei, dan merasa itu semua adalah penyertaan-Nya yang ajaib.

 

Saya teringat 7 Juli 2012 adalah hari terpenting dalam kehidupan saya, karena di hari tersebut saya mengikrarkan janji untuk selamanya akan hidup bersama tunangan saya dalam sebuah ikatan suami-istri. Saya teringat 22 Juli 2012 adalah sebuah hari yang menyeruak sebagai sebuah mujizat karena akhirnya dapat menyaksikan Ian Brown, John Squire, Reni dan Mani bersama ribuan orang lainnya di Singapore Indoor Stadium. Jika ada mujizat kebangkitan di era modern ini, peristiwa itu adalah hal terdekat yang pernah saya alami. Saya mensyukuri dengan sangat semua pemberian Yang Di Atas di bulan Juli, hari-hari sebelumnya dan setelahnya, walaupun setelah The Stone Roses di Singapura itu saya terkapar hampir dua minggu akibat demam berdarah. Tapi itu semua ada dalam konsep rencana-Nya yang selalu menjadi misteri bagi kita manusia, namun penuh dengan keindahan.

 

Saya teringat memasuki bulan September dan berulang tahun untuk pertama kalinya sebagai seorang suami. Saya teringat menghabiskan waktu-waktu tersebut dalam liburan di Singapura, dan mengunjungi pulau Sentosa untuk berwisata dan merupakan pertama kalinya setelah 21 tahun. Saya teringat mengakhiri bulan September, menyaksikan terbitnya mentari dengan candi borobudur yang setengah mati menunjukkan kegagahannya di tebalnya kabut pagi, dan teringat betapa agungnya Yang Maha Kuasa. Itu semua adalah hari-hari terakhir musim panas, bagaikan sebuah momen yang berkepanjangan dan tidak pernah berhenti, seperti cahaya mentari yang selalu kita rasakan kehangatan sepanjang hidup ini.

 

Lalu datanglah 20 November 2012. Saya teringat wajah kakak saya memberitakan berita itu, jelang tengah malam ketika saya baru selesai mandi. Saya teringat akan mimik muka istri saya di Skype ketika saya memberitahu kabar tersebut. Saya teringat raut muka ibu saya memegang telefon, mencoba mengkoordinasi apa yang harus dilakukan, namun tidak dapat menahan kesedihan. Saya teringat kata-kata adik saya, yang saya temui di rumah sakit menanyakan bukannya harusnya ia akan pulang ke rumah besok dengan matanya yang berkaca-kaca. Saya teringat mencium kening tubuh yang sudah tidak bernafas itu, kening yang sama yang saya kecup beberapa jam sebelumnya ketika saya pamit hendak pulang dari kamar rumah sakit itu, tanpa pernah menyadari bahwa itu akan menjadi salam terakhir saya kepadanya sebelum ia berpulang ke rumah Bapa. Saya teringat akan tanggal 21 November 2012, ketika semua kerabat orangtua saya, sanak saudara, teman-teman kami, datang tanpa henti untuk memberi penghormatan terakhir kepada ayah saya di rumah kami. Saya teringat 22 November 2012, teringat wajah-wajah orang-orang yang selalu diperhatikan ayah saya sepanjang hidupnya dan pelayanannya di gereja kami. Dan mungkin untuk pertama kalinya di samping peti ayah saya di gereja kami, saya mengerti apa artinya berduka dan menyadari betapa mengagumkannya ayah saya sebagai seorang pribadi. Saya teringat guyuran hujan deras yang mengantar kami meninggalkan Jakarta, dan mempertemukan kami dengan bukit-bukit hijau San Diego Hills, untuk mengantarkan ayah saya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Saya teringat akan semua yang baik yang telah ia lakukan untuk ibu saya, untuk kakak saya, untuk adik saya, dan untuk saya pribadi. Saya tersenyum karena Tuhan telah begitu baik menyertai kami, dan memang segala sesuatu ada waktunya dan tiada yang kekal. Ia telah memilih waktu yang baik, dan sekarang ayah saya telah bersamaNya.

 

Saya teringat 02 Desember 2012, ketika kakak saya dalam perayaan yang sangat sederhana namun begitu indah, menikah dengan perempuan yang ia cintai. Saya teringat kehangatan dan keintiman seluruh seremoni, bagaimana mereka dipersatukan, dan tidak hanya mereka tapi kami semua sebagai keluarga baru yang dipertemukan dalam pernikahan tersebut.

 

Saya teringat 21-23 Desember 2012 menghabiskan waktu bersama teman-teman kami. Teman-teman yang kebetulan juga mengikat tali pernikahan mereka tahun ini, dan saya mengucap syukur boleh bertemu dengan orang-orang hebat seperti mereka. Saya teringat membicarakan masa depan dengan istri saya, sebuah masa depan dengan banyak ujung yang masih terbuka, sebuah tantangan yang masih harus dijawab, yang sekali lagi belum tentu dapat kami jawab sendiri-sendiri, tetapi saya tahu saya memiliki dirinya, dan dia memiliki saya, dan yang terpenting kami selalu menyerahkan apapun yang kami hadapi di bawah pimpinan Yang Maha Kuasa, dalam mengarungi derasnya waktu ini.

 

Saya mengucap syukur akan 2012, saya mengucap syukur akan teman-teman yang saya miliki, saya mengucap syukur akan pekerjaan saya, saya mengucap syukur atas artis-artis hebat yang boleh saya saksikan langsung tahun ini. Saya mengucap syukur untuk keluarga saya yang saya kasihi, saya mengucap syukur memiliki seorang istri yang begitu mengagumkan dan selalu mendampingi saya dalam momen apapun, baik itu hanya sedekat hembusan nafas, atau dipisahkan oleh ribuan kilometer dan ribuan kaki di atas laut. Saya melihat ke belakang, ke tahun 2012, dan saya melihat semuanya itu baik. Terima kasih TUHAN.

 

David Wahyu Hidayat 

Jogging Playlist Pagi Ini

Posted in Last Song Syndrome on Februari 10, 2011 by David Wahyu Hidayat

1.    Set Me Free – The Sand Band (Psikedelik cosmic scouser)

2.    About A Friend – L’alphalpha (Saya mendengar jejak – jejak Sigur Ros di sini?)

3.    Neat Little Rows – Elbow (Seperti melayang dalam roket yang dikomandani Guy Garvey)

4.    Under Cover Of Darkness – The Strokes (Suara mentari pagi yang menyapa muka kita yang tak pernah menua)

5.    Daun Dan Ranting Menuju Surga – Themilo (Bangun, hapus kekelaman, hari yang baru telah tiba)

 

Pagi ini, saya terbangun ekstra pagi. Setelah menyadari saya telah kelewatan beberapa jam untuk mengunduh single terbaru dari sebuah band yang dahulu sempat menjadi raja di kota bernama New York. Band itu bernama The Strokes, lagunya berjudul “Under Cover Of Darkness”. Setelah menunggu beberapa lama, akibat padatnya lalu lintas jaringan situs band tersebut, akhirnya saya berhasil mengunduh lagu tersebut. Dan yang saya dengar beberapa detik setelahnya adalah suara optimisme pagi. Apakah band ini telah kembali ke formnya dahulu? Masih perlu ditunggu albumnya, yang akan dirilis dalam waktu dekat.

 

Tergerak oleh kebugaran jogging kemarin sore, saya memutuskan untuk jogging lagi pagi ini. Setelah mengkopi lagu tersebut ke alat pemutar musik digital saya (yang pagi ini kembali dalam keadaan mengkhawatirkan karena lagunya tiba – tiba hilang lagi, entah untuk kesekian kalinya), mengenakan kaus The Strokes yang dibeli hampir 10 tahun lalu dalam sebuah konser mereka (Konser yang mengagumkan, ngomong-ngomong) dan telah sangat lusuh, saya bersiap jogging pagi ini.

 

Saya berlari, diiringi anjing RT yang pagi ini kembali hiperaktif mencoba menggelayuti kaki saya.

Saya berlari, melewati bangkai tikus yang kemungkinan besar menemukan detik terakhirnya ketika dilintas mobil tetangga semalam.

Saya berlari, dilewati oleh tukang ojek yang sedang mengantarkan perempuan karir dengan dandanan kantor dan mengenakan sepatu hak tinggi, entah, mungkin pagi ini dia terlambat untuk sebuah pertemuan.

Saya berlari, berpapasan dengan mobil yang disetir oleh seorang eksekutif muda dengan kacamata hitam dan perut buncit, mungkin berpikir bisnis apalagi yang akan digarapnya hari ini.

Saya berlari, melewati tukang sayur yang sedang menjajakan dagangannnya, tersenyum bahagia akan pekerjaannya yang halal.

Saya berlari, sambil berharap manusia – manusia negara ini menemukan akal sehatnya dan mengerti dengan benar arti dari toleransi dan bukan dipajang sebagai slogan semata.

Saya berlari, sambil mensyukuri bahwa kenyataan kalau pagi ini saya bisa jogging adalah sebuah keluksusan yang belum tentu bisa dinikmati semua orang.

Saya berlari, mensyukuri semua yang telah berlalu adalah hal terbaik yang pernah ada, karena semua hal terjadi untuk alasannya masing – masing.

Saya berlari, menyadari bahwa semua yang telah diberikan kepada saya adalah anugerah dari yang maha kuasa.

Saya berlari, mencoba mengerti bahwa segala sesuatu yang belum diberikan kepada saya adalah juga anugerah dari yang maha kuasa, karena segala sesuatu akan indah pada waktunya.

Saya berlari, bukan untuk kabur dari kenyataan tapi untuk menyadari bahwa di antara masa lalu dan masa depan terletak harapan. Dan untuk itu saya berlari dan menyambut hari.

 

David Wahyu Hidayat

 

Jakarta saya benci kamu, tapi tetap dirimu tidak dapat dikhianati

Posted in Pikiran Malam on Agustus 23, 2010 by David Wahyu Hidayat

Sabtu pagi, minggu ketiga Agustus 2010.Sejujurnya saya tidak ingat kapan terakhir kali saya mendapati diri saya diatas tempat tidur di kamar saya tanpa perasaan harus tergesa-gesa melarikandiri ke gedung klien yang saya sedang tangani saat ini, atas nama lembaran kertas merah bergambarkan Soekarno-Hatta. Tenang rasanya, dan sepertinya segala sesuatu terletak pada tempatnya yang benar. Setelah digerogoti terus menerus oleh kehidupan korporasi yang laknat, bahkan pada akhir pekan sekalipun, Sabtu pagi kemarin adalah sesuatu yang melegakan.

Satu-satunya yang mengusik pikiran, adalah membaca berita bahwa Aquarius PondokIndah akan tutup selamanya sebagai korban paling baru dari industri musik yang sudah terlalu penuh dengan polesan dan hampir-hampir kehilangan artinya. Tempat tersebut adalah sebuah institusi bagi saya, dan mungkin juga orang-orang lainnya seperti saya. Entah sudah berapa banyak lembaran rupiah bergantikan dengan kebahagiaan dalam bentuk piringan CD yang saya beli di sana. Saya ingat, gaji pertama dari pekerjaan pertama saya, dihabiskan di toko tersebut dengan membeli “Ox4: The Best Of Ride”. Sekarang, ritual pembawakebahagiaan itu tidak dapat dilakukan lagi di sana.

Namun, itu tidak menghalangi kelegaan yang saya alami di Sabtu kemarin. Sekitar pukul 2 siang, saya berjalan ke toko CD lokal yang terdekat dari rumah saya. Memang lokasinya berada di sebuah mal mewah di bilangan Jakarta Selatan, tapi toko tersebut mempunyai koleksi yang tidak kalah handalnya dengan Aquarius Pondok Indah, mudah-mudahan toko ini dapat bertahan selamanya. Target utama saya siang itu adalah sebuah CD dariband lokal, yang sampulnya bergambarkan jalan Sudirman yang sangat lenggang, dengan gedung-gedungnya yang bisu dan jalanannya yang tampak absurd tanpa mobil dan manusia sekalipun. Saya penasaran dengan album itu, setelah membaca propaganda maya yang bersliweran di forum-forum lokal dan aplikasi jejaringan sosial. Album itu berjudul “Ode Buat Kota” dari Bangkutaman.

Ada unsur sangat klasik dengan sampul albumitu, saya sampai tidak dapat menahan diri merobek bungkus plastik yang menutupi CD tersebut (menurut salah seorang teman saya, melakukan hal itu sebelum sampai di rumah dan menaruh CD tersebut ke pemutar musik kita, adalah perbuatan yang haram) dalam perjalanan kaki balik ke rumah saya. Sambil membaca liner notes yang mengantarkan musik di CD itu, saya tiba-tiba sudah berada di rumah. Ada perasaan gembira dan tidak sabar mendesak di dada saya.

Tidak lama sesudahnya, saya menelusuri jalanan Jakarta di Sabtu sore untuk menemui teman-teman saya. Lagu album tersebut menyebar nada-nada riang fantastis di mobil yang saya kendarai, dan seluruh album itu terdengar masuk akal. Benar-benar seperti sebuah ode buat kota, di mana kita berjuang menghirup nafas masing-masing, bertemu denganteman-teman untuk menyapa dan untuk berpisah, untuk tertawa dan berbagi cerita.Dalam setiap cerita kita, kota yang kita tinggali menjadi saksi perjalanan hidup ini, dan album itu menangkap setiap momen dengan baik.

Sehari sesudahnya, di mana mentari bersinardengan cerahnya seperti Minggu siang seharusnya, kembali saya menyusuriSudirman ditemani album itu. Anehnya, gedung-gedung yang di hari biasa terlihatseperti monster yang memakan kehidupan kita, terlihat sangat bersahabat di Minggu siang itu. Jalanan yang beberapa hari sebelumnya saya cerca setengah mati karena menggenang oleh hujan yang tidak berkesudahan, siang itu tampak menyambut setiap kendaraan tanpa harus memadat dan memperlahan lajunya.

Entah apakah itu pengaruh album yang sayadengar, atau dikarenakan saya lahir dan besar di kota ini, sehingga sejahat apapun ia mencederai jiwa ini, saya tetap mencintai kota ini. Atau mungkin, di saat-saat tertentu kita hanya harus melihat segala sesuatunya dari perspektif yang sedikit berbeda, dan semuanya akan terlihat lebih menyenangkan. Atau mungkin kita hanya harus bersyukur atas apa yang kita miliki saat ini.

Akhir pekan telah habis waktu saya menulis semua ini. Terus terang saya tidak tahu, apa yang akan diberikan hari esok.Tapi biarkanlah esok datang dengan kejutan dan kesusahannya sendiri. Saat ini kita tidak perlu menguatirkannya, kesusahan hari esok biarlah kita pikirkan hari esok, saat ini, biarkan kita menikmati segala sesuatu yang masih kita miliki.

DavidWahyu Hidayat

Judul dan tulisan ini diinspirasikan oleh lagu LCD Soundystem “New York I Love You, But You’re Bringing Me Down” dan album mengagumkan Bangkutaman “Ode Buat Kota”.

3 hari untuk selamanya…

Posted in Pikiran Malam on April 2, 2010 by David Wahyu Hidayat


Sekitar 3 tahun yang lalu, entah terpacu oleh apa, saya menyediakan waktu untuk menonton sebuah film lokal yang diberi judul “3 hari untuk selamanya”. Mungkin judulnya yang menampilkan sisi romantik akan keabadian sesuatu yang ideal yang memicu saya menonton film itu, mungkin juga trailer yang tak pernah henti yang ditampilkan di salah satu food court sebuah plaza dekat dengan tempat saya bekerja waktu itu yang membuat saya berhenti sejenak dan berkeinginan menonton film tersebut.

Singkat kata, tak lama sesudahnya saya menonton film tersebut, yang menceritakan tentang sebuah perjalanan kedua sepupu menuju YK, tentang pertanyaan yang takkan pernah terjawab oleh pegangan keidealan yang tak lagi eksis. Untuk orang banyak, bahkan untuk salah satu surat kabar terbesar di negara ini, film itu dikatakan hanyalah bentuk pemujaan generasi muda masa kini yang kehilangan arah dalam asap marijuana, tersesat dalam perjalanan yang seharusnya mempunyai arah yang jelas. Tapi menurut saya, itu adalah salah satu film lokal terbaik yang pernah saya tonton. Alasannya, saya tidak bisa secara pasti mengatakannya, saya hanya tahu, yang telah saya lihat adalah sesuatu yang mengesankan.

Beberapa bulan setelahnya, di hari kedua Idul Fitri, bersama kedua orang teman, kami duduk mengusir kebosanan di salah satu kafe. Dari pembicaraan yang luntang-lantung, akhirnya kami membicarakan film tersebut, dan mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan menuju kota yang sama di film tersebut. Rencana tersebut terwujud di pergantian tahun 07/08, kami bertiga ditambah seorang teman lagi melakukan perjalanan tersebut.

Sudah lama, saya tidak melakukan road trip. Ada kesan tersendiri menyusuri jalanan pulau ini menuju YK. Semuanya terasa begitu menyegarkan dan begitu melegakan, jauh dari hingar-bingar ibukota yang makin lama makin menyesakkan dan menyempitkan ruang gerak. Fakta bahwa saya melakukan perjalanan tersebut bersama 3 teman terbaik saya, menambah perasaan menyenangkan dari perjalanan itu. Sebuah perasaan yang mungkin pelan-pelan mulai hilang di tengah-tengah kesibukan masing-masing.

Mungkin yang membuat perjalanan darat terasa menyenangkan, adalah karena kita merasakannya sebagai sebuah pelarian dari rutinitas sehari-hari yang menenggelamkan dan membunuh kita pelan-pelan. Sebuah perasaan di mana, entah itu dalam 3 hari, 5 hari, atau seminggu, kita dapat terputus koneksi dengan kenyataan kehidupan kita, dan menyelami kehidupan orang lain yang kita lihat dalam perjalanan tersebut. Sebuah kehidupan yang seringkali terlihat lebih sederhana dari yang kita miliki dengan segala macam fasilitas, gadget dan daya beli, namun mereka sanggup terlihat bahagia. Mungkin yang saya lihat waktu itu hanyalah jepretan instan, mungkin juga mereka tidaklah sebahagia itu dan ingin bertukar posisi dengan saya. Mungkin.

Sekitar seminggu yang lalu, saya tiba-tiba berkeinginan untuk mendengarkan soundtrack film tersebut, lalu menonton film itu sekali lagi. Tiba-tiba saja tanpa sebab tertentu. Film itu masih tetap berkesan, seperti ketika saya tonton pertama kali, kenangan akan perjalanan yang saya lakukan sendiri pun kembali terberkas di kepala saya.

Sebenarnya saya tidak ingin menuliskan semua ini, karena semuanya terkesan seperti pengagungan akan masa lalu yang tidak bisa diulang kembali. Antara saat itu, dan saat ini telah banyak yang terjadi, keputusan yang dibuat dan tidak ditarik kembali, beberapa di antaranya membuat saya puas dengan kehidupan saya saat ini, beberapa di antaranya adalah sebuah pembelajaran akan kehidupan. Mungkin seringkali kita menyesali apabila segala sesuatunya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan dan ingini. Tapi saya selalu percaya, segala keputusan yang kita ambil, adalah yang terbaik pada saatnya, karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi bila kita memilih jalan yang lain tersebut. Meskipun begitu, seringkali pula saya menganggap semua itu hanyalah retorika belaka, yang bahkan saya sendiri tidak percaya kepadanya. Tapi bila saya melihat dan mengingat lagi akan apa yang saya temui dalam perjalanan tersebut, akan apa yang saya miliki dalam diri teman-teman saya, saya selalu merasa berterima kasih terhadap kehidupan yang saya miliki.

Biarkan diri kita tersesat dalam perjalanan kita, karena tanpa itu, kita tidak pernah tahu rasanya mencari jalan yang benar. Mungkin itu inti cerita dari film itu. Mungkin seringkali kita menyangkali bahwa kita sedang tersesat. Pada akhirnya semuanya akan baik-baik saja, dan kita menemukan jalan kita kembali. Mungkin benar seperti yang terlantun dalam salah satu lagu di soundtrack tersebut, yang kita harus lakukan hanyalah mempercayakan hati lebih dari yang pernah kita lalui. Pada akhirnya kita takkan lagi harus jauh melangkah. Nikmati lara ini untuk sementara saja dan serahkan kehidupan kepada masa depan. Entah itu 3 hari, atau 150 hari, atau 365 hari, yang jelas semuanya itu adalah untuk selamanya…

David Wahyu Hidayat

Terima kasih 2000 – 2009

Posted in Pikiran Malam on Desember 17, 2009 by David Wahyu Hidayat

Terima kasih untuk 1 Januari 2000 yang membuktikan bahwa Y2K adalah sebuah kekuatiran kosong tanpa bukti.

Terima kasih untuk Google yang membuat kita dapat menemukan jawaban yang kita cari selama ini.

Terima kasih untuk Wikipedia yang telah memberikan pengetahuan tanpa batas.

Terima kasih untuk Youtube yang memberikan penyegaran setelah televisi menghancurkan bayangan kita tentang hiburan.

Terima kasih dan benci untuk segala aplikasi jaringan sosial yang memberikan kenyataan pada sebuah kegilaan virtual.

Terima kasih dan benci untuk segala ponsel pintar yang telah mengusir semua kebosanan dan membuat kita tidak pernah berhenti bekerja.

Terima kasih untuk blog-blog yang berkeliaran di internet, yang telah membuat hari-hari kita menarik dengan informasi serius maupun setengah bercanda.

Terima kasih dan benci untuk pemutar musik digital yang menyelamatkan kita dari tata suara angkot, dan teman karaoke yang tanpa malu sedang berusaha mempopulerkan kembali “Madu & Racun”.

Terima kasih untuk Coldplay, Arctic Monkeys, The Strokes dan Bloc Party yang mengembalikan musik pada esensinya di dekade ini.

Terima kasih untuk “Kid A” karena telah mendefinisikan musik paling cerdas dengan lagu-lagu yang ada di dalamnya.

Terima kasih untuk Efek Rumah Kaca, The S.I.G.I.T & Polyester Embassy yang memberikan harapan kembali kepada musik negeri ini.

Terima kasih untuk Peter Jackson yang telah memberikan kita sebuah spektakel epik dalam trilogi Lord Of The Rings.

Terima kasih untuk Gie, 3 hari untuk selamanya dan King yang kembali memberikan arti menjadi Indonesia tanpa nasionalisme kosong.

Terima kasih untuk Zach Braff yang dengan Scrubs membuat dogma bahwa berkhayal di siang buta adalah pekerjaan mulia.

Terima kasih untuk Oskar Schell yang memberikan harapan bahwa setelah segala yang kita kenal runtuh di hadapan kita, semuanya akan baik-baik saja.

Terima kasih untuk kehadiran low cost carrier yang menghapus kekesalan akibat pesawat terlambat dengan kenangan indah pasir pantai.

Terima kasih dan benci untuk TransJakarta yang membuat kita sedikit merasa, ada juga transportasi publik yang layak untuk ibukota ini.

Terima kasih untuk Liverpool FC & keajaiban yang mereka bikin di Istanbul pada malam 25 Mei 2005.

Terima kasih karena dekade ini telah memberikan seorang Roger Federer yang mengajarkan kita bagaimana memenangkan sesuatu dengan kesempurnaan dan kelas.

Terima kasih untuk 31 Desember 2009 dan hari-hari yang telah terlewati dengan tawa dan tangis selama tahun 2000 – 2009

David Wahyu Hidayat