G baru aja balik dari SG 2 hari yang lalu. Kira-kira sudah 16 tahun berlalu, sejak g terakhir kali menginjakkan kaki di negeri itu. Tapi sepertinya semuanya tetap eksis seperti yang ada di ingatan g waktu itu. Rapi, teratur, seakan sebuah tempat yang menyenangkan untuk hidup. Tapi di sini g kembali, di Jakarta yang semrawut, berantakan, tapi lo tidak bisa lepas untuk bilang ini adalah tempat yang menyenangkan untuk hidup. Bahkan mungkin tempat yang lebih menyenangkan dari SG.
Sebagai seseorang yang hidup di generasi yang boleh menikmati kenistaan kehidupan modern abad 21, terlepas dari tempat di mana kita berada, entah itu di SG, JKT, DO, kita atau paling tidak g, takkan bisa lagi melarikan diri dari jaringan internet yang sudah mengikat kita. Hidup kita terstruktur berdasarkan itu, bangun pagi, ke kantor, atau malah mungkin sebelum ke kantor, hal yang pertama dilakukan adalah mengecek e-mail, lalu pesan-pesan di segala jaringan sosial maya kita, kemudian blog pribadi kita, lalu berita-berita terbaru dari manca negara ataupun nasional, dan bila ada waktu sedikit di tengah malam mungkin video-video terbaru dari band favorit kita, di salah satu situs video sharing.
Selama berada di SG, orang – orang di tanah air sepertinya gempar dengan pemblokan situs – situs yang membatasi gaya hidup kita, g pun sebenarnya kuatir terhadap hal itu. Tapi mungkin kekhawatiran g datang atas dasar yang sedikit lebih esensial dibanding orang – orang lainnya. G seperti yang sudah disebut di paragraf sebelumnya, telah terbiasa dengan gaya hidup dunia maya yang mengiringi kehidupan ini. Bahkan dalam liburan pun, g tidak bisa lepas untuk mencari sambungan internet hanya untuk sekedar mencek satu-dua hal di sana. Bila sumber informasi itu diblok, sepertinya kita akan mundur lagi ke belakang beberapa langkah.
Sehari sebelum berangkat ke SG, g membaca artikel di salah satu surat kabar yang mewawancarai salah seorang pakar IT Indonesia. Di artikel tersebut beliau ditanya mengenai UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang baru saja disahkan, di situ beliau mengomentari bahwa internet adalah tempat masyarakat untuk menjalankan demokrasinya. Dan menurut g, ia berkata benar. Kita sampai saat ini bebas mengutarakan pendapat kita di sana. Tapi kembali lagi, di balik setiap pendapat yang kita ajukan di sana, kita sendiri yang harus tahu kedewasaan kita dalam mengemukakannya.
Kebebasan tidak berjalan liar dan lepas dengan sendirinya. Kebebasan harus diiringi dengan kedewasaan, dan hanya itu yang bisa mengontrol diri kita dari segala hal yang tidak diinginkan. G kadang-kadang suka geleng-geleng kepala membaca komentar-komentar di blog orang-orang yang bersliweran atau bahkan di salah satu surat kabar nasional yang bisa dibaca di internet. Terkadang tidak habis pikir, mengapa kita rela membiarkan pikiran dan hati nurani kita untuk berdebat dalam suatu hal yang sering sama sekali tidak relevan. Kita harus lebih dewasa dalam menyikapi banyak hal sebagai satu bangsa. Mencoba mengerti latar belakang apa yang terjadi, dibanding langsung berkomentar dan memberikan suatu keluaran yang tidak produktif.
Mungkin kita di satu sisi, butuh seseorang yang memberikan inspirasi untuk semua kalangan dan lapisan. Melihat balik ke beberapa waktu silam, siapakah sosok terakhir yang dapat kita tampilkan sebagai sosok inspirasi bangsa ini? Apakah kalian dapat menemukannya? G paling tidak belum dapat menemukannya, apakah itu di bidang politik, musik, olahraga, dan lainnya. Ya mungkin buat g pribadi, sebagai pecinta musik ada beberapa band lokal yang menginspirasikan g, tapi sifatnya bukanlah yang dapat dijadikan inspirasi nasional.
Kita butuh inspirasi, yang menyatukan kita sebagai sebuah bangsa. Tahun lalu, ketika piala Asia digelar di sini, untuk waktu singkat kita semua memilikinya, sesaat kita semua bangga untuk menjadi seorang Bambang Pamungkas dan Ponaryo Astaman, tapi semuanya itu tidak bertahan. Dalam suatu perjalanan menaiki TransJ koridor 1, g sempat termenung sesaat waktu melewati bundaran HI. Yang ada di benak g waktu itu, kapan kita semua bisa tumpah ruah di sini, tidak mempedulikan agama, ras, suku, berpelukan satu sama lain, bangga sebagai bangsa Indonesia, karena tim nasional kita telah memenangkan piala dunia, atau mungkin piala asia, atau apapun yang dapat mengindetifikasikan kita sebagai satu bangsa. G ragu ini akan terjadi dalam waktu dekat. Tapi kita butuh sebuah inspirasi. Kapan terakhir kali seorang tokoh politik menginspirasikan kita dalam skala nasional, tanpa menyertakan pesan dari golongan tertentu, yang ia pedulikan hanya kita sebagai bangsa. Sepertinya sepanjang hidup ini, g belum pernah merasakannya. Kita butuh inspirasi yang menyatukan kita, sehingga pada akhirnya kita dapat bangga berkata bahwa kita adalah orang Indonesia, bukan suku A, agama B, ras C. Kita adalah bangsa Indonesia. Bila itu telah terjadi, mungkin kita dapat berpikir dewasa, dan melangkah lebih mantap menuju masa depan.
David Wahyu Hidayat